Trauma, Adiksi, Resiliensi: Wacana Vital yang Terlupakan dalam Kerangka Pendidikan Aceh
Dosa terbesar lembaga pendidikan adalah menyamaratakan kerangka pembelajaran di segala ranah dan wilayah. Jenis pendidikan yang dipukul rata dengan melupakan inti keunikan kebutuhan para pelajar berdasarkan kondisi kehidupan mereka yang beragam. Lembaga pendidikan kita sibuk memuja jargon pendidikan bergengsi dan berdaya saing tinggi dengan mengadopsi standar nasional bahkan internasional.
Bagaimana kita memaksakan pendidikan berdaya saing ketika para
pelajar bahkan tidak memperoleh daya sayang dan rasa aman? Bahkan sekolah,
kampus, dan balai-balai pendidikan agama kita saat ini seakan luput mengajarkan
hal mendasar dan paling esensial dari inti pendidikan itu sendiri. Pendidikan
yang mengupayakan pengenalan dan penerimaan diri sebagai seorang manusia secara
utuh (Bustamam-Ahmad, 2013:39).
Erick Fromm dalam The Art of Living menjelaskan bagaimana kemajuan zaman menciptakan pergeseran orientasi manusia dari makhluk yang menjadi (being) menuju makhluk yang didominasi keinginan memiliki (having). Manusia modern yang mengalami dirinya sebagai komoditas dan bertumbuh dengan ego yang besar, terus berubah, tetapi tak memiliki inti diri sebagai pusat kesadaran. Pada akhirnya, proses pertumbuhan manusia menjadi “bengkok”. Manusia semacam itu tidak hanya mampu menghancurkan dirinya, tetapi juga makhluk lain dan alam di sekitarnya (Ramli, A., dkk, 2020: 122-130).
Di tengah semakin menjamurnya lembaga pendidikan di Serambi Mekkah, mengapa laporan kasus kekerasan, peredaran narkoba, judi online, konsumsi rokok dan pornografi justru semakin tinggi? Apakah nilai-nilai luhur yang ditanamkan melalui proses pembelajaran di lembaga-lembaga pendidikan hanya isapan jempol belaka? Atau justru fokus pendidikan kita saat ini tidaklah tepat sasaran?
Kegelisahan akan paradigma pendidikan di Aceh sudah lama terpatri di benak saya pribadi. Hal itu pula yang mendorong saya terjun langsung mengajar di berbagai lembaga pendidikan sejak 2010; dari level sekolah umum, pesantren, universitas, hingga lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM). Proses belajar-mengajar tersebut saya tempuh bukan sekadar untuk berbakti dan berbagi ilmu. Namun, sembari menjalani proses pengajaran, saya turut mengumpulkan informasi terkait pola-pola penerapan pembelajaran yang diadopsi oleh berbagai Lembaga Pendidikan di Provinsi Aceh.
Sebagai salah satu provinsi terujung di Indonesia, Aceh cukup mentereng dengan sejarah kehidupan masyarakatnya yang unik. Masyarakat Aceh lahir dan bertumbuh dalam kondisi ketidaknormalan hidup yang berkepanjangan; dari perang, konflik bersenjata, tsunami, bahkan kini ditambah lagi pandemi. Disadari atau tidak, rakyat Aceh selama ratusan tahun terus menerus hidup dalam kecemasan dan rasa was-was.
Menariknya, selama satu dasawarsa berperan sebagai pendidik di Aceh, saya belum menemukan satu pembelajaran pun terkait trauma—baik pencegahan maupun penyembuhannya—yang tercatat dan wajib diajarkan dalam kurikulum sekolah, kampus, maupun lembaga pendidikan lainnya.
Bukan hanya itu, kontradiksi materi pendidikan kita yang tidak mendukung pemecahan masalah di kehidupan nyata semakin saya sadari ketika membina murid-murid sekolah dasar. Mata batin saya seakan terbuka mendapati fakta bahwa seorang dewasa yang belum mengenal dirinya secara utuh berkemungkinan besar tidak mampu melakukan aktivitas parenting secara menyeluruh. Setiap kali saya menemukan anak-anak dengan permasalahan perilaku, misalkan kecanduan gawai (phubbing), maka besar kemungkinan orang tua sang anak juga memiliki kecenderungan masalah adiksi serupa.
Pada dasarnya, sebagai makhluk sosial, manusia rindu akan koneksi antarsesamanya. Namun, seseorang tidak akan mampu membangun hubungan mendalam dengan orang lainjika dia tidak terkoneksi dengan dirinya (Pueblo, 2021:61). Rasa takut yang dikendarai rasa sakit trauma masa lalu kerap menjadi alasan utama. Kehadiran adiksi hanyalah distraksi yang digunakan untuk membungkam perasaan atau meredakan rasa sakit secara semu.
Dr. Gabor Maté—pakar trauma, stres, dan adiksi—menjelaskan bahwa selama ini kita keliru dalam bertanya. Kita tidak seharusnya berkata, “Mengapa mereka kecanduan?”. Akan tetapi kita harus terlebih dahulu memahami, “Luka apa yang mereka sembunyikan melalui kecanduan? Dan mengapa luka itu hadir?”. Dia menjelaskan bahwa memang tidak semua kecanduan berakar pada masalah pelecehan (abuse) atau trauma. Namun, semua jenis kecanduan berasal dari pengalaman internal yang menyakitkan. Kecanduan berakar pada penderitaan emosional. Sakit hati adalah pusat dari semua perilaku adiktif (Maté, 2011: 41).
Di tengah maraknya isu kecanduan di Aceh, lagi-lagi saya menyadari bahwa ternyata terdapat kaitan erat antara trauma dan perilaku adiksi dalam masyarakat kita. Namun sayangnya, belum ada wacana serius terkait pemahaman akan trauma dan adiksi dalam kerangka kurikulum pendidikan di Aceh.
Padahal fakta membuktikan bahwa salah satu faktor utama pesatnya perkembangan
kasus kejahatan dan kerusakan di Aceh berakar pada kasus adiksi (Rosemary,
2021: 56-60). Bahkan tindak korupsi yang marak dilakukan para petinggi kita
juga berkemungkinan diwarnai motif trauma yang bermanifestasi menjadi adiksi
terhadap harta dan kekuasaan. Maté sendiri menyatakan kecenderungan perilaku
adiksi tersebut dalam istilah “Power of addiction and addiction of power”.
Di akhir tulisan akan turut saya paparkan alasan pentingnya pemahaman ketahanan personal atau resiliensi dalam wacana pendidikan di Aceh. Hal ini dimaksudkan agar setelah mengenal dan memahami proses penyembuhan luka emosional melalui tema trauma dan adiksi, kita juga paham akan tata cara menjadi manusia fleksibel dan tahan banting melalui tema resiliensi.
Sehingga kelak kita memiliki pembekalan pemahaman yang cukup dalam menghadapi tantangan dunia yang semakin mengglobal. Yuval Noah Harari pernah berpesan, “Tampaknya sebagian besar hal yang Anda pelajari di sekolah tidak akan relevan lagi saat berusia 40 tahun. Saran terbaik saya adalah fokus pada kecerdasan emosional (emotional intelligent) dan ketahanan personal (personal resilience)”.
Maka, tulisan ini hadir sebagai rangkuman kesadaran diri selama menempuh perjalanan karir sebagai pendidik dalam kurun waktu 10 tahun. Tulisan ini mencoba memberi gambaran masalah dan tawaran solusi pendidikan praktis yang mengakar pada luka kehidupan nyata masyarakat Aceh.
Tujuan Sejati Pendidikan
Sejatinya, pendidikan hadir demi mendukung pertumbuhan dan perkembangan manusia. Melalui pendidikan, setiap orang berkesempatan memperoleh beragam ilmu dan pengalaman. Sehingga dengan memperoleh pendidikan yang tepat diharapkan manusia tidak hanya mampu mengenal diri, tetapi juga terbantu dalam proses penyembuhan luka emosional.
Dalam buku Padang Bulan, Andrea Hirata memprotes anggapan belajar semata ajang kompetisi. Dia menyebutkan, “Orang-orang itu telah melupakan bahwa belajar tidaklah melulu untuk mengejar dan membuktikan sesuatu. Namun belajar itu sendiri adalah perayaan dan penghargaan pada diri sendiri,” (Hirata, 2010: 197). Saya bersepakat dengan pernyataan tersebut. Saya sendiri merasakan dampak nyata proses belajar terhadap perkembangan diri, terutama saat menempuh pendidikan secara non-formal.
Diakui atau tidak, secara umum kerangka pendidikan formal kita masih cenderung kaku dan ketinggalan zaman. Kaku di sini bermakna proses pembelajaran kita hanya menitikberatkan pada “Apa?” bukan “Bagaimana?”. Sebagai pendidik, kita cenderung mengandalkan model pertanyaan, “Tahukah kamu?” atau “Benarkah itu?”. Namun, kita jarang melanjutkan pembahasan pada, “Bagaimana kamu tahu yang kamu ketahui itu benar?”.
Sebab untuk menghasilkan solusi di kehidupan nyata, kita tidak dapat berhenti di soal apa. Namun pemahaman tersebut harus tuntas terbahas hingga perihal bagaimana, juga mengapa. Kemampuan peserta didik memahami akar persoalan akan membantu menumbuhkan ketrampilan menyelesaikan masalah (problem solving) pada diri mereka. Oleh karenanya, untuk membantu mereka mencapai kemampuan tersebut, mula-mula para pendidik harus mengajarkan ketrampilan penting mendasar lainnya yaitu bagaimana mempelajari cara belajar (learning how to learn) yang sesuai keunikan personal para pelajar.
Adapun makna ketinggalan zaman pada konteks sebelumnya tidaklah mengacu pada seberapa canggih teknologi yang dimiliki sebuah lembaga pendidikan. Akan tetapi lebih kepada seberapa jauh lembaga pendidikan tersebut mampu menyelaraskan kebutuhan ilmu pengetahuai sesuai zaman sembari membantu para pelajar menggali keunikan inti diri mereka masing-masing. Sehingga modernisasi tidak menggerus kepribadian mereka menuju pembentukan manusia yang utuh dan mandiri (insan kamil) (Bustamam-Ahmad, 2013:58).
Selayaknya harapan yang diutarakan oleh The Forgotten Founding Father of Indonesia, Tan Malaka, bahwa pendidikan seharusnya mampu mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan. Sehingga pendidikan hadir untuk memberikan kesempatan bagi manusia bertumbuh menjadi versi terbaik diri mereka secara lahir maupun batin (Kemendikbud, 2018: 76-77).
Pendidikan yang tepat menjadikan manusia mampu mempergunakan intelektualitasnya untuk mengambil pilihan yang tepat. Keputusan yang tepat tidak hanya mendatangkan kenikmatan, tetapi juga mampu mengikisi penderitaan (Lang, 2011). Pada akhirnya proses pendidikan sejati diharapkan mampu membantu manusia memahami dirinya, tujuan hidupnya, dan mengenal Allah sebagai Pencipta (Bustamam-Ahmad, 2013:69).
Mengenal Trauma, Mencerna Duka
Merujuk pada pemaparan sebelumnya, tujuan pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha sadar dalam mengembangkan kepribadian dan kemampuan seorang manusia. Namun jika mengambil sempena alam semesta, kita akan menyadari bahwa tak ada pohon yang tumbuh subur dan menghasilkan buah yang ranum jika akarnya terluka dan cabangnya patah di mana-mana. Sebab untuk bertumbuh, mula-mula pohon itu harus sembuh.
Demikian halnya juga dengan manusia. Saat kita terluka, walau berusaha berpura-pura baik-baik saja, kita tetap tidak dapat berfungsi secara maksimal. Ketika kita mengalami cedera di kaki. Seberapa tegar pun kita melangkah, kaki kita akan terseok-seok juga. Sebab cedera itu tampak, lantas kita akan segera berusaha mengobatinya.
Namun yang menjadi pertanyaan menarik adalah bagaimana jika cedera yang dialami tak kasatmata? Apakah cedera emosional semacam itu diakui keberadaannya? Akankah kita mengambil jeda demi kesembuhan beragam trauma-trauma kita?
Trauma, dalam kosa kata Yunani τραύμα, berarti luka. Trauma hadir ketika ada perasaan yang rusak. Trauma adalah luka psikis yang mengeraskan psikologis dan mengganggu kemampuan kita untuk tumbuh dan berkembang sebagai manusia. Luka tersebut membuat kita bereaksi berlandaskan rasa sakit dan rasa takut. Tanpa sadar, kita berupaya terus menghindari proses penyembuhan sebab kita begitu ketakutan menghadapi rasa sakit yang pernah kita pendam. Kita memilih membungkam luka-luka tak terlihat itu. Tanpa sadar, trauma yang terbungkam menumbuhkan lebih banyak rasa sakit (Maté, 2011: 246).
Maté menjelaskan bahwa sesungguhnya trauma bukanlah apa yang terjadi pada kita. Trauma adalah apa yang terjadi di dalam diri kita sebagai akibat dari suatu yang menimpa kita. Trauma adalah bekas luka yang membuat kita kehilangan keluwesan rasa. Trauma menjadikan kita manusia yang lebih kaku, kurang peka, dan defensif.
Pada dasarnya, trauma bersifat sangat personal. Suatu kejadian dalam kondisi, lokasi, dan waktu yang sama bisa memberikan dampak trauma yang berbeda-beda bagi setiap orang yang mengalaminya. Hal tersebut disebabkan perbedaan kapasitas mental dalam merespons setiap kejadian menyakitkan antara satu orang dengan yang lainnya berbeda-beda.
Trauma hadir bukan saja karena kita mengalami sesuatu yang buruk dan mengejutkan. Akan tetapi trauma juga hadir karena kita tidak mengalami hal penting yang seharusnya kita alami. Misalnya kita tidak memperoleh rasa aman, kasih sayang, validasi emosi, dukungan bertumbuh, atau waktu berkualitas bersama keluarga, terutama saat masih kecil (Tsabary, 2010: 96-100).
Dalam kasus masyarakat Aceh, kita mengalami kedua jenis trauma tersebut; trauma sebab mengalami hal yang tidak seharusnya dialami dan trauma karena tidak mengalami hal yang seharusnya dialami. Sehingga tak heran, gejala trauma berat semakin jelas terlihat di dalam masyarakat Aceh dari tahun ke tahun.
Perilaku cemas, rasa panik, ketidakstabilan emosi ikut ditunjukkan oleh kebanyakan generasi muda Aceh. Padahal konflik bersenjata dan bencana alam sudah berlalu puluhan tahun lalu. Bahkan sebagian generasi muda Aceh tersebut bukanlah orang-orang yang menerima dampak langsung dari konflik maupun bencana. Lantas mengapa manifestasi rangkaian trauma tersebut masih begitu pekat teradopsi secara berjamaah dalam alam bawah sadar kita? (Wolynn, 2016: 58-59).
Dalam buku In the Realm of Hungry Ghosts disebutkan bahwa pada dasarnya kerusakan terbesar yang dialami manusia disebabkan oleh faktor pengabaian dan penderitaan emosional. Rasa sakit semacam itu tidak terlihat secara langsung. Namun trauma tersebut bermanifestasi menjadi distorsi jangka panjang pada cara anak-anak berkembang dan menafsirkan dunia sekitar mereka (Maté, 2011: 278). Fisioterapis Jessica Maguire menyatakan bahwa trauma emosional bukan sekadar berefek secara psikologis, tetapi juga fisiologis. Trauma menyebabkan disregulasi jangka panjang dalam sistem saraf manusia.
Sebagai seorang anak yang lahir di masa Nazi melakukan pembantaian, keluarga besar Maté menerima trauma emosional yang begitu parah. Kakek-nenek dari pihak ibunya di bunuh. Ayahnya mengalami kerja paksa. Sedangkan ibunya mengalami depresi berat di masa perang.
Dalam sebuah kuliah daring, Maté menceritakan bahwa sejak bayi, ia telah ikut menyerap stres, teror, dan depresi yang ibunya rasakan semasa konflik. Kondisi lingkungan itu membentuk trauma pada sirkuit otaknya (Maté, 2011: 172). Penderitaan yang dialami sang ibu menjadikan Maté kecil menangkap pesan bahwa dunia tidak menginginkannya. “Jika ibu tidak bahagia di sekitar saya artinya dia tidak menginginkan saya,” jelasnya.
Sayangnya, efek trauma masa kecil itu baru disadarinya ketika dewasa. Dia kemudian mendapati fakta bahwa trauma masa lalu yang belum pulih memberikan dampak berkelanjutan bagi keturunannya. Melalui perilaku dan alasan berbeda, Maté menciptakan trauma serupa kepada anak-anaknya. Perasaan penolakan yang ditangkap oleh anak-anaknya dikarenakan ketidakbahagiaan orang tua. Warisan trauma dari generasi ke generasi itu dikenal dengan sebutan Trauma Antargenerasi atau Transgenerational Trauma.
Trauma emosional itu menjadikan Maté “gila kerja” (workacholic) dan gemar berbelanja (shopaholic). Dia menjadi orang tua super sibuk yang tidak memiliki waktu untuk membersamai tumbuh kembang anak-anaknya. “Mengapa saya menjadi worka.holic? Sebab jika mereka tidak menginginkan saya (saat kecil dulu), setidaknya mereka akan membutuhkan saya (ketika dewasa),” papar Maté menganalisa kepercayaan alam bawah sadar traumanya.
Selain workacholic dan shopaholic, beberapa perilaku lainnya yang disebabkan oleh manifestasi trauma dapat dilihat pada tabel berikut.
Perilaku Berlandaskan Manifestasi Trauma Masa Lalu |
|||
1. |
Adiksi |
13. |
Kesulitan membela diri |
2. |
Susah tidur |
14. |
Menoleransi perilaku kasar |
3. |
Serangan panik dan depresi |
15. |
Perasaan malu berlebihan |
4. |
Perubahan suasana hati |
16. |
Perasaan takut ditinggalkan |
5. |
Kesulitan berkonsentrasi |
17. |
Ketergantungan dalam hubungan |
6. |
Mati rasa dan putus asa |
18. |
Selalu menyenangkan semua orang |
7. |
Harga diri yang rendah |
19. |
Batasan diri (boundaries) yang lemah |
8. |
Terlalu mengkritisi diri |
20. |
Mengesampingkan kebutuhan diri |
9. |
Takut gagal atau sukses |
21. |
Menginginkan validasi eksternal |
10. |
Sulit mempercayai orang lain |
22. |
Tidak sanggup menghadapi konflik |
11. |
Pandangan hidup yang negatif |
23. |
Menolak perubahan positif |
12. |
Gangguan makan/ binge eating |
24. |
Masalah kesehatan fisik jangka panjang |
Oleh: Tana Amin, ahli kebugaran dan perawat trauma ICU bedah saraf the Amen Clinics |
Selain itu, trauma juga bermanifestasi dalam bentuk sikap narsisme, adiksi terhadap kekuasaan, dan dorongan penghancuran diri (self-destruction). Menariknya, trauma tidak selalu tampil dalam rupa yang buruk. Ia bisa hadir dalam bentuk keaktifan berkegiatan tanpa batas, kecemerlangan prestasi di sana-sini, dan keramahan serta pengorbanan tiada henti. Kondisi di mana seseorang secara mental atau emosional mengalami trauma tetapi dari tampilan luar cenderung terlihat aktif dan baik-baik saja. Kondisi semacam ini dikenal dengan sebutan High-Functioning Depression alias Smiling Depression.
High-Functioning Depression (HFD) |
||
Apa yang terlihat |
Apa yang sebenarnya terjadi |
|
1 |
Selalu bercanda dan tersenyum |
Kesulitan menerima dan mengekspresikan emosi yang menyakitkan |
2. |
Gila kerja/workacholic |
Mendistraksi diri dari luka dan duka |
3. |
Selalu tegar “di masa-masa sulit” |
Mati rasa dan apatis terhadap situasi |
4. |
Sangat peduli terhadap orang lain |
Merasa tidak layak menerima cinta serupa |
5. |
Terus menerus sibuk |
Kekhawatiran bersendiri dengan pikiran |
6. |
Prestasi gemilang |
Merasa tidak pantas /imposter syndrome |
Ingat: "Tampilan luar" seseorang tidak selalu mencerminkan "kondisi batin" mereka. (thedepresionproject.com) |
Demikianlah rupa-rupa “usaha” manusia dalam mendempul kekosongan luka batin. Cedera emosional semacam itu hadir disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan mendasar manusia, terutama ketika masih kecil. Adapun jenis-jenis kebutuhan dasar manusia tersebut secara gamblang dijelaskan dalam Maslow's Hierarchy of Needs.
Pemahaman akan kebutuhan dasar manusia itu saya pelajari dari sebuah pelatihan yang diberikan oleh Mifta Sugesti. Dia adalah seorang pemudi Aceh yang sedang merampungkan Magister Profesi sebagai Psikolog Klinis Anak dan Remaja di Univesitas Indonesia. Sebelumnya, dia juga telah merampungkan studi Magister bidang Psikologi Sosial di Universitas Lancaster, Inggris.
Dalam pelatihan tersebut, Mifta mengajak peserta mengenali tata cara mencerna duka. Dia menjelaskan bahwa duka adalah satu fase di mana individu merasa “kehilangan”. Fase mencerna duka biasanya terdiri atas lima tahapan. Dari proses penolakan (denial), kemudian kemarahan (anger), lalu tawar-menawar (bargaining), berlanjut depresi (depression), dan berakhir pada penerimaan (acceptance). Namun, pada kenyataannya, proses mencerna duka tidak selalu berjalan semulus tahapan tersebut. Kadang kala proses penyembuhannya akan berlangsung secara acak, dengan urutan proses yang berantakan, bahkan bisa berbentuk pengulangan (loop).
Oleh karenanya, kesadaran akan kebutuhan mendasar manusia dan tata cara mencerna luka emosional secara tepat menjadi penting untuk dipahami. Ingat pesan Bapak Psikologi Dunia, Sigmund Freud, bahwa emosi yang tidak diekspresikan tidak pernah mati sebab mereka dikubur hidup-hidup. Kemudian, mereka akan bangkit kembali dalam bentuk yang lebih buruk.
Rahasia di Balik Perilaku Adiksi
“Luka apa yang disembunyikan melalui perilaku kecanduan? Dan dari mana luka itu berasal?” menjadi pertanyaan utama setiap kali saya mendapati perilaku distraksi dan adiksi pada diri seorang manusia, termasuk pada diri saya pribadi.
Kecanduan pada dasarnya bukanlah pilihan yang dibuat oleh seseorang. Adiksi bukan bentuk kegagalan moral atau penyimpangan etis. Perilaku candu bukanlah kelemahan karakter atau kegagalan kemauan. Adiksi juga bukan penyakit otak yang diturunkan. Perilaku ketergantungan merupakan cerminan utama dari disfungsi demi merasa dicintai. Sejatinya, adiksi adalah respons dari penderitaan manusia (Maté, 2011: 177-180).
Di Aceh, berita terkait perilaku distraksi dan adiksi kerap berseliweran di sana-sini. Dari kasus pubbing, judi online, pornografi, korupsi, narkoba, arak, rokok, hingga maraknya tindak kekerasan di ranah privat dan publik. Kesemua hal itu secara kasat mata terlihat seperti keculasan, ketidakbecusan, kekacauan perilaku, bahkan tindak kejahatan. Potret-potret berita di berbagai media seakan mengabari kita bahwa manusia di zaman ini bergitu termotivasi melakukan kerusakan dan kejahatan. Namun kita lupa menelaah sisi lain dari kondisi ini.
Perlu diingat bahwa semakin seseorang merasa perlu untuk menyerang dan menyakiti orang lain, maka menjadi pertanda kuat bahwa dia sedang begitu menderita. Orang itu benar-benar berada di ambang batas kesakitan dan tampaknya tak mampu menemukan jalan keluar (Saviuc, 2016: 8). Sayangnya, memproyeksikan luka kita terhadap orang lain tidak membuat rasa sakit itu hilang. Bahkan kita justru terjebak dalam siklus mempermalukan diri sendiri (LePera, 2021: 43).
Oleh sebab itu, perilaku distraksi dan adiksi yang kita pilih tak ubahnya raungan permintaan pertolongan akibat luka emosional (trauma) yang terlampau dalam. Sebegitu menyakitkannya hingga kita membutuhkan begitu banyak pengalihan (distraksi) untuk meredam rasa sakit.
Namun, distraksi yang kita pilih cenderung tidak sehat. Sehingga pengalihan isu demi meredam rasa sakit itu berubah menjadi adiksi. Ciri khas kecanduan terletak pada hilangnya kekuatan kita untuk berhenti dari suatu kebiasaan. Perilaku itu seakan lebih kuat dalam mengontrol kita. Pada akhirnya, bukannya membaik, distraksi dan adiksi justru menjadikan rasa sakit dari trauma kita bertambah parah. Seperti nasihat Eckhart Tolle, “Adiksi dimulai dari rasa sakit dan berakhir menghasilkan rasa sakit” (Maté, 2011: 242).
Disadari atau tidak, perilaku distraksi dan adiksi merupakan cara kita
menghukum diri sendiri. Kita melihat diri kita sebagai orang yang gagal. Kita
tidak merasa berhak akan hubungan yang sehat dan indah. Kita tidak merasa mampu
mencintai dan dicintai. Kita membutuhkan perhatian tetapi tidak tahu cara
membangun koneksi secara sehat. Sehingga kita bereaksi menghukum diri melalui perilaku
merusak diri bahkan orang lain. Sebab akar tindakan menyabotase diri (self-sabotage)
adalah ketakutan dan ketidakamanan akibat trauma masa lalu (LePera, 2021: 81).
Berikut disajikan beberapa contoh lain dari perilaku self-sabotage.
Contoh Perilaku Self-Sabotage |
||
No. |
Contoh Perilaku |
Penjelasan |
1. |
Kritik Diri/Self-Criticism |
Kerap muncul suara-suara di kepala yang meragukan diri sendiri. Hal itu membuat kita berpikir bahwa kita tidak layak (not good enough). Kritik tidak objektif terhadap diri itu mengikis rasa percayaan diri kita. Pada akhirnya, kita memiliki harga diri yang rendah. |
2. |
Perasaan Negatif/Negativity |
Kita tidak mampu melihat keindahan dan kebaikan di dunia ini. Kita cenderung menilai segala hal secara negatif. |
3. |
Menunda-nunda/Procrastination |
Kurangnya pengendalian diri dan menghindari kenyataan bahwa kita tidak cukup merencanakan. |
4. |
Tidak Tertata/Disorganization |
Hilangnya atau terganggunya kemampuan kita dalam hal struktur atau fungsi yang teratur atau sistematis. |
5. |
Rendah Diri/Imposter Syndrome |
Kepercayaan bahwa kita tidak cukup mampu. Ketidakyakinan bahwa segala tindakan, sikap, dan karakter berada dalam kendali kita sendiri. |
6. |
Sikap Berlebihan/Overindulgence |
Makan berlebihan, pemborosan, bermedsos berjam-jam, perselingkuhan, korupsi, berpesta pora. Intinya segala sesuatu yang kita lakukan secara berlebihan untuk menghindari perasaan tidak menyenangkan. |
7. |
Merusuh/Initiating Conflict |
Bersikap terbuka dan jujur itu penting selama kita mampu mengendalikan diri. Agar konflik yang timbul tidak menyebabkan penyesalan di kemudian hari. |
8. |
Tidak Fokus/Out of Focus |
Kecenderungan kita untuk mengerjakan banyak hal dalam satu waktu (multitasking). Akibatnya kita mengalami kelelahan akut. |
9. |
Membanding-bandingkan/ Comparison |
Kita gemar membandingkan diri dengan orang lain. Akibatnya. kita tidak akan pernah merasa cukup baik dan berhenti percaya pada diri sendiri. |
10. |
Ketidakjelasan/Lack of Clarity |
Kita tidak tahu tujuan hidup sebenarnya. Tidak memahami “WHY” kita. Sehingga kita merasa tidak berharga dan cukup baik. |
Sebagai belia yang pernah diliputi rasa ngeri tiap kali mendengarkan letusan senjata api dan derapan sepatu tentara semasa konflik GAM-RI. Anak kecil yang menerima kejutan besar dari dampak tsunami. Remaja awal yang memiliki segenap koleksi pengalaman hidup di kamp pengungsian, putus sekolah berbulan-bulan, bahkan kehilangan banyak teman sepermainan. Kesemua hal itu sudah menjadi kumpulan alasan masuk akal bagi trauma untuk hinggap di diri saya.
Namun sayangnya, sama seperti kisah Maté, efek trauma tersebut baru saya sadari ketika beranjak dewasa. Segenap trauma itu bermanifestasi menjadi gejala serangan panik, rasa rendah diri, insomnia, kekacauan emosi, bahkan tanpa sadar melakukan aksi menghukum diri melalui perilaku makan berlebihan alias binge-eating.
Binge Eating Disorder (BED) adalah metode yang digunakan seseorang untuk mencoba mengendalikan emosinya. Emosi-emosi ini seringkali berasal dari pengalaman traumatis di masa kanak-kanak, seperti penelantaran, hidup melalui bencana alam, pelecehan seksual, menyaksikan peristiwa atau kejahatan yang mengerikan, dan lain sebagainya.
Pada awalnya, saya mengira kegemaran makan merupakan sekadar hobi. Namun pembelajaran penyembuhan trauma (trauma healing) menyadarkan saya bahwa makan dengan porsi besar dalam rentan waktu mengunyah yang terlampau cepat merupakan indikasi trauma. Sejatinya tanpa sadar, saya sedang mencoba mengunyah kekacauan emosi melalui kegiatan menguyah makanan.
Tentu diawal menyadari manifestasi trauma tersebut saya merasa begitu kaget, sedih, dan terpukul. Kesadaran diri (self-awareness) pada kenyataannya tidak selalu tampil indah layaknya kata-kata motivasi. Namun ketidaknyaman perasaan semacam itulah yang membantu kita sembuh dan bertumbuh.
Keinginan saya untuk berdamai dengan trauma masa lalu, sembuh, dan kembali bertumbuh menjadikan saya berani untuk terus berproses. Sebab kesehatan (healthy) dapat kembali dicapai melalui proses kesembuhan (healing). Bagi saya, pemulihan dari dalam diri (well-being) jauh lebih penting dari sekadar hal yang tampak “baik-baik saja” di permukaan.
Albert Einstein pernah berpesan bahwa kebanyakan manusia cenderung hanya berfokus pada apa yang tampak dari luar dan tidak cukup memandang ke dalam. Manusia seakan tidak mampu memahami bahwa semuanya dimulai dari dalam. Jika bagian dalam berantakan, maka bagian luar juga akan berantakan.
Dr. Shefali Tsabary menyatakan kesadaran (consciousness) dapat membangkitkan rasa takut untuk menguak hal yang disembunyikan. Akan tetapi pertumbuhan sejati tidak berasal dari unsur adiksi, bukan akumulasi benda atau pencapaian. Namun justru bersifat subtraktif, pengurangan. Sebenarnya kita bertumbuh melalui pengalaman kehilangan (Tsabary, 2010: 122).
Di balik pentingnya proses kesadaran dan kesembuhan masyarakat, lembaga pendidikan kita tampaknya lupa mengenalkan pembelajaran terkait trauma, distraksi, dan adiksi sebagai kunci pemecahan masalah sosial jangka panjang di Aceh (Mahdi, dkk., 2020: 35-36). Kita membutuhkan lembaga pendidikan yang membantu pemecahan masalah sejak dari akarnya. Pembelajaran yang membuat kita mampu mengenali dan membedah sumber emosi yang mengganggu. Kemampuan untuk memahami penyebab kemunculan perilaku kompulsif di dalam masyarakat kita (Greene, 2018: 35).
Pemahaman semacam itu akan membantu kita menghentikan kebiasaan mengabaikan diri (self-rejection) dan kembali terkoneksi ke dalam sanubari. Sama halnya dengan ketidakwajaran membicarakan Tuhan di depan orang yang lapar, maka berjuang mengubah dunia ketika kita sendiri masih terluka merupakan hal sia-sia.
Menuju Sembuh dan Bertumbuh
Dalam proses melewati pancaroba kehidupan, sungguh kita telah melakukan hal terbaik yang kita mampu. Andai kita memiliki pemahaman dan kesadaran yang lebih baik, tentu kita berproses dengan cara berbeda (Hay, 2004: 2). Pada kenyataannya, esembuhan dimulai sejak timbulnya kehendak untuk lepas dari pola negatif dan keluar dari mentalitas korban. Pilihan untuk menyadari bahwa kitalah yang menciptakan pikiran, perasaan, dan tindakan kita. Akui keberdayaan kita untuk bertanggung jawab terhadap diri sendiri kini (Greene, 2018: 332).
Sebagai manusia, kita semua ingin diperhatikan, didengarkan, dipahami, dan dicintai. Kita sembuh ketika kita merasa aman dan terhubung dengan tubuh kita, napas kita, dan dengan sesama manusia lain di sekitar kita secara sehat. Hanya melalui hubungan sehat semacam itu, kita berani menjadi rentan (vulnerability) dan membuka emosi. Dari sanalah kita menguak tabir inti diri yang dapat diajak berproses untuk sembuh. Dr. Jill Bolte Taylor, ahli saraf dari Universitas Harvard, menyebutkan bahwa luka-luka emosi itu seperti kanak-kanak. Mereka berangsur pulih ketika kita dengarkan dan validasi.
Benar bahwa berdamai dengan trauma-trauma masa lalu tidaklah mudah. Terkadang proses penyembuhan menuntut kita melakukan hal baik yang tidak menarik. Misalkan, kita harus kembali berlatih tidur tepat waktu setelah bertahun-tahun mengalami insomnia atau kita mulai membiasakan diri mengganti konsumsi rokok dengan camilan buah-buahan segar. Bahkan kita harus rela mendisiplinkan diri untuk terus bergaul dalam lingkaran orang-orang yang sehat dan inspiratif demi mendukung proses kesembuhan kita. Ingat pesan dokter Mark Hyman—friend-power is more powerful than willpower—pengaruh pertemanan jauh lebih kuat dibandingkan ketekunan.
Menerapkan kebiasan baru yang baik dan sehat memang penuh tantangan. Thich Nhat Hanh menjelaskan bahwa kebanyakan manusia cenderung sulit melepaskan penderitaan sebab takut akan hal yang tidak familiar. Penyembuhan adalah proses yang baru lagi asing. Sedangkan sebagai manusia kita cenderung lebih suka penderitaan yang akrab.
Distraksi dan adiksi merupakan contoh penderitaan yang akrab lagi
“menyenangkan”. Sebab keduanya menutupi kesadaran kita. Dalam buku The Law
of Human Nature disebutkan bahwa manusia ingin mengambil hikmah tanpa harus
mengalami kejadian. Tapi kita justru
tidak suka melihat kenyataan secara mendalam dan menginstrospeksi diri (Greene,
2018: 181).
Maka penting bagi kita berjuang untuk berdamai dengan beragam pemicu (triggers) trauma masa lalu. Memulai pola hidup sehat dan mempraktikkan kalimat-kalimat afirmasi positif akan sangat membantu proses penyembuhan. Seiring sembuh, kita akan bertumbuh. Pertumbuhan secara batiniah menghindarkan kita dari perilaku merusak diri, orang lain, dan alam sekitar. Sebab merusak adalah hal yang mudah, maka sembuhlah.
Adapun aktivitas pendukung proses penyembuhan luka emosional dapat
dipelajari melalui tabel berikut.
Pada dasarnya, penyembuhan trauma emosional erat kaitannya dengan dukungan penjagaan kesehatan fisik dan juga mental (Walker, 2017: 84). Penyembuhan berlangsung ketika kita berani membingkai ulang perspektif (reframing) dari kejadian yang menimpa kita dan mencoba mengambil hikmah. Penyembuhan berlanjut ketika kita mempelajari kembali segala pemicu (triggers) rasa sakit dan rasa takut yang muncul akibat trauma. Sejatinya triggers menjadi salah satu cara terbaik untuk mengenali diri kita lebih jauh. Bersamaan dengan kehadiran pemicu trauma, kita ikut dapat meninjau ulang sumber-sumber kekuatan yang ada di dalam diri kita.
Kelak sesekali kita juga akan merasakan kehampaan selama proses penyembuhan. Hal itu membuat kita ingin menyerah. Dr. Gia Pratama menjelaskan bahwa seluruh tubuh manusia terdiri dari atom. Adapun 99,9996% atom terdiri atas ruang hampa. Jadi tidak apa-apa kalau sesekali kita merasa hampa. Maka cobalah bertahan. Jadilah bagian dari generasi penyembuh. Generasi pemutus rantai trauma “warisan” dari segenap generasi sebelum kita.
Resiliensi dan Tantangan Global
Resiliensi merupakan sikap lentur atau kemembalan. Resiliensi adalah bentuk ketahanan diri untuk menerima serta menghadapi masalah atau situasi yang sulit. Resiliensi juga berarti kemampuan untuk meningkatkan kualitas hidup di tengah pancaroba. Di saat mengalami masa-masa sulit, tidak ada jalan yang terasa mudah. Saat-saat sulit itulah yang membangun karakter kita.
Profesor Psikolog Adam Grant menjelaskan resiliensi bukanlah kemampuan menjadi kebal terhadap rasa sakit. Resiliensi artinya memiliki kekuatan untuk bertahan terhadap persoalan hingga kita mampu mengatasinya.Sebab beban yang terlihat berat hari ini bisa jadi akan terasa lebih ringan esok hari.
Dalam kehidupan nyata, istilah “we’re in the same boat” hanyalah bualan belaka. Bisa jadi kita berada dalam badai yang sama. Namun belum tentu kita berada dalam kapal yang sama. Di antara kita ada yang menggunakan kapal pesiar, kapal selam, perahu, sampan, ban, bahkan ada yang kelalapan. Maka penting bagi setiap orang untuk memiliki kapasitas resiliensi dalam mengarungi lautan kehidupan. Kemudian bersikap baik dan membantu sesama jika kita mampu.
Resiliensi sendiri dapat dibangun melalui beberapa kebiasaan. Misalnya melalui kebiasaan berpikir kritis dan reflektif, bersikap tabah dalam berproses, dan senang berbagi. Resiliensi juga tumbuh seiring terbiasa mengelilingi diri dengan orang-orang yang mendukung perkembangan diri ke arah yang lebih baik.
Demikianlah sepatutnya edukasi berperan dalam membentuk ketahanan diri pelajar sembari berproses menemukan inti diri mereka. Pendidikan yang baik mampu mendukung dan memberi rasa aman bagi peserta didik dalam menghadapi tantangan global tanpa harus mengikis keunikan personal.
Dalam program Endgame bertemakan “Tanpa Standar Intelektual, PeradabanBisa Celaka”, Sabda PS menjelaskan bahwa persaingan global disertai teknologi tinggi berpotensi menciptakan batasan kesalahan (margin of error) yang semakin lebar. Sehingga di masa depan, interseksi antara teknologi dan humanitas akan semakin dibutuhkan.
Gita Wirjawan, sang host, menambahkan bahwa secanggih apapun teknologi, budaya dan jiwa tetaplah penting. Menurutnya bukan pengetahuan yang mampu memitigasi risiko kelalaian manusia (human error), akan tetapi justru kebijaksanaan (wisdom). Sebab akan ada batas di mana manusia tidak mampu mengkodefikasi jiwa yang memperkaya rasa humanitas.
Pemikiran tersebut menyadarkan kita akan pentingnya menjadi manusia utuh. Manusia yang pikiran dan perasaannya berfungsi sama baik. Manusia yang empati sekaligus realistis. Manusia yang ramah dan pemberani. Manusia yang mampu menjadi sebaik-baik manusia untuk dirinya, sesamannya, dan alam sekitarnya. Dalam mendukung proses keterwujudan ide penyeimbangan kecanggihan teknologi masa depan dan kekayaan humanitas, berikut saya sajikan daftar pembelajaran penting lainnya yang diharapkan hadir di lembaga-lembaga pendidikan di Aceh.
Hal Penting Dipelajari di Sekolah dan Kampus |
|||
1 |
23 |
Cara mengatasi insomnia |
|
2 |
Cara memutuskan trauma antargenerasi |
24 |
Mengatasi distraksi dan adiksi |
3 |
Strategi coping yang sehat dan tidak sehat |
25 |
Cara mencintai dan dicintai |
4 |
Cara merawat diri dan keluarga |
26 |
Esensi melakukan perjalanan |
5 |
Doa/ucapan saat menjenguk orang sakit |
27 |
|
6 |
Doa/ucapan bagi keluarga yang berduka |
28 |
Terkenal dan efek baik-buruknya |
7 |
Memroses duka dan menyembuhkan luka |
29 |
Prinsip hidup sukses |
8 |
Kesadaran dan kedewasaan emosional |
30 |
Negosiasi dan koneksi |
9 |
Mengakses inti kesadaran diri |
31 |
Cara bertanya secara tepat |
10 |
Hidup dengan memiliki tujuan |
32 |
Penyebab kemiskinan |
11 |
Cara membuat keputusan yang tepat |
33 |
Acuan hidup tanpa berhutang |
12 |
Cara menjalin hubungan yang sehat |
34 |
Cara menjadi kaya |
13 |
Fokus dan manajemen waktu |
35 |
Pemahaman literasi finansial |
14 |
Cara berkomunikasi secara efektif |
36 |
Cara berjualan dan beriklan |
15 |
Pengenalan pola pikir bertumbuh |
37 |
Memulai dan mengelola bisnis |
16 |
Jenis-jenis kecerdasan dan bakat |
38 |
Cara menyelamatkan dan membela diri |
17 |
Proses membentuk realitas |
39 |
Pemahaman pentingnya rasa aman |
18 |
Pemahaman regulasi diri |
40 |
Cara meminta pertolongan |
19 |
Berpikir sistematis dan realitis |
41 |
|
20 |
Empati dan kasih sayang |
42 |
Mengatasi akar masalah |
21 |
Mendengarkan intuisi |
43 |
Menganalisa pikiran |
22 |
44 |
Cara beternak dan bercocok tanam |
|
Kemampuan untuk menjadi: autentik, jujur, kritis, tulus, adaptif, fleksibel, humanis |
Perlu diingat, kita semua adalah manusia (human being) bukan
“robot” pekerja (human doing). Oleh karena itu, ambillah jeda untuk
duduk membersamai emosi yang kerap kita abaikan selama ini. Berhenti mendisktraksi
diri melalui perilaku adiksi. Belajarlah untuk sadar dan bertanggung jawab
terhadap segenap perbuatan dan keputusan kita. Fokuslah pada hal-hal yang bisa
kita kontrol dan ubah menjadi lebih baik. Kemudian belajar berdamai dan
lepaskan hal-hal yang tidak mungkin kita ubah. Mari prioritaskan energi kita
untuk hal-hal yang benar-benar penting.
Pada dasarnya, melakukan kesalahan adalah hal yang manusiawi. Namun hal itu menjadi bermasalah jika kita terus mengulang kesalahan yang sama. Menutup mata dari permasalahan merupakan perbuatan keliru. Informasi baru terkadang membuat kita takut dan merasa tidak nyaman. Namun semakin cepat kita menyadari kesalahan sebelumnya, semakin sedikit kesalahan yang kita lakukan di kemudian hari.
Kita tidak seharusnya dilumpuhkan oleh masa lalu. Belajar untuk sembuh membantu kita kembali bertumbuh. Benar bahwa trauma menciptakan perubahan yang tidak kita inginkan, akan tetapi kesembuhan mampu menciptakan perubahan yang kita dambakan. Kenyataannya, trauma tidak hanya dapat menciptakan warisan kesusahan, tetapi trauma juga menempa kekuatan dan ketahanan yang dapat dirasakan oleh generasi mendatang (Wolynn, 2016:25). []
Profil Penulis:
Ayu ‘Ulya merupakan seorang pemikir inovatif, penyuka seni kreatif, dan pemerhati dunia pendidikan. Dia mengabdi sebagai pendidik di lembaga pendidikan formal dan non-formal lebih dari satu dekade. Ayu juga dapat disapa melalui emailnya: ayuulya90@gmail.com.
*) Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Buku "Aceh 2022: Pendidikan dan Politiknya"
0 Response to "Trauma, Adiksi, Resiliensi: Wacana Vital yang Terlupakan dalam Kerangka Pendidikan Aceh"
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!
(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)