Melengkapi Puzzle Narasi Berkeluarga
Narasi terindah berasal dari kisah yang diceritakan setengah-setengah. Maka tak heran jika romansa paling diminati penduduk dunia, termasuk Indonesia, selalu menawarkan akhir cerita yang “Happily Ever After”. Padahal slogan “bahagia selamanya” itu hanya muncul pada kisah-kisah yang sering terputus di tengah jalan. Mandek pada momentum puncak saat ikrar suci diucapkan atau sebatas memori meriahnya pesta yang digelar. Lantas, bagaimana kisah selanjutnya yang dialami kedua mempelai saat menjalankan biduk rumah tangga yang sebenarnya? Akankah sepasang kekasih—yang dulunya mungkin pernah dimabuk asmara—itu tetap bisa merasakan kebahagiaan yang sama hingga akhir hayat mereka?
Diakui atau tidak, kisah cinta berbunga-bunga sepanjang masa yang memiliki kelanjutan sesi dua atau bahkan tiga, di buku atau film sekali pun, nyatanya masih sulit ditemukan, konon lagi di kehidupan nyata. Seperti denyut nadi, memang benar kalau setiap proses kehidupan yang dijalani manusia pasti ada pasang surutnya. Termasuk kelanjutan kisah cinta antara dua insan selepas mengucapkan janji suci untuk menjalani hidup bersama hingga, katakanlah, maut memisahkan.
Sayangnya, kehidupan percintaan antarpasangan sah di Provinsi Aceh, yang diharapkan membahagiakan, tampaknya kian hari kian menyedihkan. Jika merujuk laporan Mahkamah Syar’iyah Provinsi Aceh tahun 2016-2019, ditemukan peningkatan angka perceraian dari tahun ke tahun, hingga mencapai 5.665 kasus. Jumlah tersebut setara dengan empat kasus cerai talak setiap harinya.
Secara umum, pemicu perceraian tersebut antara lain berupa pertengkaran terus menerus antarpasangan, masalah ekonomi, dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Andai benar demikian, tampaknya mimpi-mimpi untuk merasakan kebahagiaan berkeluarga hingga tutup usia bagi masyarakat Aceh semakin kecil persentasenya.
Menariknya, walau tingkat perceraian terus bertambah, akan tetapi minat masyarakat Aceh untuk menikah tidak kunjung surut. Terlansir dari situs resmi Kementerian Agama (Kemenag) Aceh, sejak 2015-2019, pencatatan nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan justru terus meningkat. Bahkan terdapat 31.618 pasangan baru yang mengajukan penikahan selama pandemi Covid-19 berlangsung di tahun 2020. Dengan demikian, guyonan ‘penyebab perceraian adalah pernikahan’ seakan memperoleh keabsahan. Namun yang menjadi pertanyaan penting di sini adalah “Apakah benar jika orang-orang menikah semata-mata untuk bercerai?”
Menurut hemat penulis, umumnya orang menikah karena beberapa alasan yang cukup populer; seperti cinta, kehormatan, keturunan, hasrat seksual, atau tuntutan ekonomi. Dengan kata lain—walau di segelintir kelompok tertentu memang terdapat kasusnya—hampir tidak ada manusia di muka bumi ini yang menikah dengan niatan untuk bercerai, apalagi untuk melanggengkan praktik KDRT, bukan?
Jika demikian, lantas mengapa pernikahan yang dianggap sebagai bagian dari “penyempurnaan setengah agama” itu justru kerap menampilkan potret kehidupan yang tidak menyenangkan, jika tidak ingin dianggap miris. Agama macam apa yang tersempurnakan dengan kehadiran anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya, para istri yang mengalami kekerasan oleh suaminya, dan para suami yang dianggap sekadar ATM berjalan oleh keluarganya? Sejujurnya, saat memutuskan untuk menikah, adakah kita telah benar-benar paham makna dan tujuan dari berkeluarga yang sesungguhnya?
Konsep Berelasi
Memahami diri tampaknya merupakan salah satu tahapan kunci dalam membangun relasi. Sebelum berkomitmen dengan orang lain, tentu terlebih dahulu kita belajar membangun komitmen dengan diri sendiri. Sebelum menjalin komunikasi dengan pihak lain, seharusnya kita sudah cukup lugas memahami perasaan pribadi. Sebelum memenuhi kebutuhan orang lain, ada baiknya terbiasa mengatur pola finansial diri secara sehat. Sebelum menampung keluh kesah seseorang, coba dengar dan urai racauan suara-suara tersembunyi di balik pikiran masing-masing kita.
Hingga individu tersebut mampu berdamai dengan dirinya. Kemudian ia secara sadar bersedia mempertanggungjawabkan kehidupannya. Maka barulah tahapan membangun unit terkecil masyarakat, yang dinamakan keluarga, itu bisa dipersiapkan dengan matang. Sehingga kelak anggotanya—ayah, ibu, dan anak—dapat saling mengasihi, bekerja sama, dan bertumbuh dengan baik.
Berkeluarga merupakan hal yang seharusnya dipahami dan dipersiapkan secara komprehensif. Memahami tujuan, visi-misi, yang ingin dicapai dengan berkeluarga itu sangatlah penting. Memikirkan dan membicarakan hal apa saja yang disepakati masuk kategori wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah bagi kedua belah pihak, sebelum berlangsungnya akad, menjadi hal esensial. Keilmuan terkait resolusi konflik, tahu kapan harus bersabar dan mengalah, tentu akan sangat membantu. Ditambah lagi kematangan mental (aqil), seksual (baliq), kestabilan emosional, kesiapan finansial, dan keberadaan trauma-trauma masa lalu menjadi sederet hal penting yang perlu dinegosiasikan sejak awal. Dengan demikian diharapkan usaha-usaha tersebut mampu menyinkronkan pemahaman, serta mempersempit celah asumsi dan konflik, bagi kedua belah pihak di kemudian hari.
Tampaknya pendekatan awal yang dapat dilakukan agar hal-hal baik dalam berkeluarga dapat terwujud adalah dengan mengikuti kursus calon linto dan dara baro (calinda) atau mengambil bimbingan perkawinan (bimwin) sebelum melangsungkan pernikahan. Di samping itu, kita juga dapat melakukan tes kepribadian menggunakan Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) untuk lebih mengenal diri dan juga calon pasangan. Serta akan sangat baik jika turut meluangkan waktu melakukan konsultasi kesehatan mental dan fisik dengan menemui para ahli sebelum memutuskan untuk lanjut ke jenjang pernikahan.
Oleh sebab itu, keputusan untuk berkeluarga ada baiknya tidak dimulai dengantergesa-gesa, terpaksa, terbohongi, terbodohi, terjebak, apalagi ditambah berbagai tawaran “ter- lainnya” yang penuh ilusi ala-ala kebahagiaan pangeran dan putri Disney. Maka penting untuk bersikap dewasa dan realistis dalam berkeluarga. Sehingga kelak setiap individu siap menghadapi beragam kondisi dan mampu menanggulangi segala konsekuensi yang muncul ketika berumah tangga.
Kemudian, di dunia yang dipenuhi sistem patriarki, penting untuk melihat pasangan, terutama perempuan, sebagai sosok manusia utuh. Manusia yang merdeka pikiran, perasaan, dan juga pendapatnya. Bukan makhluk nomor dua, apalagi hanya sebatas komoditas pemuas hasrat seksual semata. Bukan pula “mesin pencetak” keturunan. Konon lagi hanya dijadikan asisten rumah tangga atau bayang-bayang pasangan.
Tentu kedua belah pihak, suami dan istri, haruslah diperlakukan setara dan adil. Bersama-sama mereka mengemban tanggung jawab dan amanah berkeluarga. Mencoba berkomunikasi, bernegosiasi, dan bertoleransi dalam proses penyesuaian-penyesuaian perbedaan antarpasangan. Berpegang teguh pada komitmen membangun relasi yang sehat dan bertumbuh. Sehingga kelak mereka tak hanya menjadi sepasang suami-istri yang saling mencintai dan mengasihi, tetapi juga mampu menjadi teladan, role models, sebagai sepasang orang tua dengan pola relasi keluarga yang baik bagi anak-anak mereka.
Menyembuhkan Diri
“Lebih baik menikah di usia tua atau muda?” tanya seorang teman suatu saatkepada penulis. Pertanyaan tersebut sungguh menggelitik. Sebab tak ada pilihan jawaban pasti dari keduanya. Tampaknya, pernikahan terbaik yang terjadi justru ketika seseorang sudah merasa “siap”.
Siap di sini bermakna siap lahir dan batin. Siap secara mental, emosional, dan juga finansial. Siap untuk saling memperjuangkan dan mendengarkan. Siap untuk bersabar dan mengalah. Serta siap untuk tidak mewariskan ragam trauma masa lalu bagi pasangannya dan juga anak-anak mereka.
Memang ada kalanya seseorang “merasa siap” untuk berkeluarga. Namun pada praktiknya, ia belum mampu berkomitmen. Dia tidak siap menjadikan keluarganya sebagai prioritas. Bahkan ia sendiri masih kepayahan menanggulangi segenap “luka lama” yang tak kunjung diobati. Sejatinya, dia belum selesai dengan dirinya. Namun, dia ingin membangun keluarga. Lantas, mau dibawa ke mana nantinya nasib keluarga yang dibangun di atas fondasi diri para insan yang masih begitu rapuh?
Memang benar bahwa masih banyak masyarakat yang tidak paham efek jangka panjang dari trauma-trauma tak kasatmata. Mungkin karena belum familier, kita cenderung abai untuk menyembuhkan hal-hal demikian. Bahkan sekadar membicarakannya, kita pun enggan. Bisa jadi karena kita merasa tidak kuasa (insecure) untuk membongkar “memori usang” yang terkubur begitu lama. Begitu ngeri untuk mengingat kembali ragam kenangan tidak menyenangkan. Begitu khawatir jika harus terluka lagi untuk ke sekian kalinya. Apalagi jika “luka-luka itu” pada akhirnya membuat kita tampak begitu berbeda.
Manusia memang begitu takut dengan penolakan, terutama ketika merasa berbeda dari kebanyakan orang. Sehingga, dari pada harus terlihat “tidak normal”, maka banyak orang memutuskan untuk menutupi rasa sakit itu—trauma, kecemasan, rasa panik, kekecewaan, amarah yang menggumpal, rasa rendah diri, perasaan terabaikan, merasa tidak dicintai, dan sebagainya—dengan beragam distraksi, yang kelak berpotensi menjelma adiksi. Entah itu melalui gim daring, rokok, narkoba, minuman keras, judi, pornografi, belanja gila-gilaan, online 24 jam, hingga kerja lembur mati-matian, dan bermacam distraksi lainnya. Kita begitu kesakitan tapi juga begitu takut untuk sembuh. Padahal Rumi telah berpesan, the cure for pain is in the pain, ‘obat bagi rasa sakit ada di dalam rasa sakit itu sendiri’.
Sayangnya, ketika distraksi-distraksi tersebut tidak lagi mampu menjadi “ban serap” keguncangan residual memori manusia, maka mulailah kekerasan dan pengabaian dalam keluarga menjadi kanal baru. Penting untuk diketahui bahwa sesungguhnya pikiran manusia itu begitu akrab dengan hal-hal familier. Sehingga “pola-pola lama”, yang diterima dan tak sembuh, berpotensi untuk kembali kambuh.
Sehingga, dia yang pernah menerima kekerasan, berkemungkinan mengulangi kekerasan. Dia yang terabaikan, lari dari tanggung jawab. Dia yang merasa tak dicintai, tumbuh sebagai sosok penuh curiga dan rendah diri. Dia yang jarang didengarkan menjelma sebagai seorang dewasa tantrum, yang baginya semua serba terserah. Serta beragam dia lainnya yang belum berdamai dengan masa lalunya.
“You need to see what lies beneath and treat that. Learn to forgive yourself. Let give you the power to feel good about yourself.” Demikian penggalan nasihat yang disampaikan salah seorang terapis terbaik Inggris, Marisa Peer. Tentunya penting untuk menggali inti dari fenomena perubahan perilaku pada diri kita dan juga masyarakat di sekitar kita. Kemudian, mencoba untuk belajar memaafkan diri dari berbagai “kejadian konyol” yang pernah dialami. Lalu mencurahkan cinta, kasih sayang, dan kekuatan bagi diri sendiri agar kembali bertumbuh, membaik, merasa cukup. “I’m enough”.
Di samping penerimaan diri, kesadaran diri (self-awareness) terhadap segenap keputusan yang diambil dan kekhusyuan diri (mindfulness) dalam segala aktivitas yang dilakukan juga sangat penting. Semua pemahaman tersebut akan sangat membantu orang-orang untuk berlaku sadar dalam keseharian hidup mereka.
Kesadaran berpikir dan berperilaku merupakan kunci utama untuk meminimalisasi distraksi, adiksi, dan tindakan kompulsif (sembrono dan meledak-ledak). Penulis percaya, ketika masyarakat sudah mampu berpikir dan bertindak secara sadar—paham efek jangka panjang dari hal baik dan buruk yang dikerjakan— maka akan banyak permasalahan sosial di sekitar kita yang dapat diselesaikan. Sebab sebagaimana setiap penyakit ada obatnya, maka setiap masalah juga punya solusinya. Termasuk solusi bagi permasalahan peningkatan kasus perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Provinsi Aceh.
Demikianlah segelintir kontemplasi dari banyaknya pengalaman nyata berkeluarga masyarakat Aceh yang sempat penulis dengarkan dan saksikan. Walau sedikit, semoga refleksi ini bisa menjadi pijakan awal untuk mengurai kebingungan kita bersama dalam menghadapi beragam kemelut fenomena kehidupan berkeluarga yang terjadi di masyarakat Aceh. Semoga melalui pemahaman konsep diri dan berkeluarga yang utuh, nantinya setiap pernikahan dapat menjadikan para insan di dalamnya bisa saling menyayangi bukan menyaingi, saling membina bukan saling menghina, saling mendidik bukan saling membidik, saling membela bukan mencela, dan saling membutuhkan bukan saling meruntuhkan. Wallahu’alam.[]
Download buku dan tulisan lainnya di sini: Keluarga dan Relasi Kuasa di Aceh
0 Response to "Melengkapi Puzzle Narasi Berkeluarga"
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!
(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)