Laki-Laki Sejati vs "Toxic Masculinity"
Ceritanya, saya pernah menemukan beberapa nasihat zaman baheula yang membicarakan rahasia dalam menilai kualitas pria. Isinya kira-kira begini.
Kualitas seorang laki-laki bisa dinilai dari 5 hal. Pertama, caranya tertawa. Kedua, caranya bercanda. Ketiga, pertanyaan yang diajukan. Keempat, buku yang dibacanya. Terakhir, teman-teman terdekatnya.
Sekilas, petuah semacam itu membuat para perempuan, termasuk saya dulunya, mengira "Ah, ternyata gampang sekali ya menilai kualitas seorang laki-laki." Sampai-sampai kita lupa bahwa laki-laki itu juga manusia. Dia termasuk makhluk yang unik. Makhluk yang perlakuannya tidak dapat dipukul rata begitu saja.
Walau petuah tersebut tidak sepenuhnya salah, namun masalahnya adalah kelima hal itu merupakan hasil olah personalitas seseorang. Dengan kata lain, nasihatnya hanya menitikberatkan pada pembicaraan akibat, bukan sebab. Iya, kita jadi lupa komponen penting lainnya, hu-uh, asal usul WHY-nya.
Padahal, dengan mengetahui alasan dari suatu aksi atau cerminan diri, para laki-laki berkesempatan untuk menyadari sikap baik mana yang tepat untuk dipertahankan dan perilaku keliru mana yang harus dikikis hingga hilang.
Bayangkan, jika kesadaran demikian dipupuk sejak dini, maka dari waktu ke waktu, setiap laki-laki tentu memiliki kesempatan untuk terus mengembangkan kualitas dirinya ke arah yang lebih baik. Tentunya selama dia mau.
Tapi, modal mau saja pasti tidak cukup. Setiap laki-laki tentu butuh ilmu, panutan, plus pemahaman masalah atau trauma yang dia hadapi. Sehingga dia tahu faktor-faktor apa saja yang membentuknya menjadi sosok seperti saat ini.
Memahami diri tentu bukanlah perkara mudah. Apalagi jika seseorang dalam jangka waktu lama menerima paparan cerminan pemikiran dan sikap sebagai seorang laki-laki yang keliru. Bentukan diri yang diterima selama bertahun-tahun dari keluarganya atau lingkungan sosialnya.
So, kali ini, saya berusaha untuk tidak membicarakan laki-laki dari sudut pandang perempuan saja. Tulisan kali ini spesial karena memuat kumpulan sudut pandang, pemikiran, dan pengalaman dari para laki-laki juga.
Beruntung, saya mengenal beberapa teman laki-laki yang mau dan mampu diajak untuk mendiskusikan isu 'sensitif' ini. Oleh karenanya, saya berterima kasih untuk kontribusi segenap manusia baik hati tersebut. Semoga ini menjadi langkah awal yang baik bagi para perempuan dan laki-laki untuk saling berbagi dan mengerti. Selamat membaca.
Picture credit: Anish Vasudevan |
Pada dasarnya, ketika seorang laki-laki memilih menjadi sosok yang maskulin, itu bukanlah perkara yang salah. Laki-laki ingin menjadi orang yang kuat dan tegar, hal itu tentu diperbolehkan. Namun, ketika maskulinitas laki-laki itu hanya diakui jika mengacu pada satu patokan mutlak tertentu, bahkan yang cenderung merusak diri dan lingkungan sekitarnya, maka di situlah muncul toxic masculinity.
Sebagai contoh, ajaran turun temurun yang menyatakan bahwa laki-laki itu harus keras dan dingin, tidak boleh menunjukkan sisi emotionalnya, seperti rasa haru ataupun menangis. Seseorang dianggap sebagai laki-laki terhormat jika dia menyembunyikan sisi peduli dan kasih sayangnya. Disebabkan jika menunjukkan emosi, mereka akan dianggap less manly.
Contoh lain. Misalnya, seorang remaja baru dianggap lakik, jika mereka ikut kelas olah raga. Sedangkan remaja yang ikut kelas seni atau sains justru dianggap cemen. Parahnya lagi, di bidang olah raga pun ada kastanya. Misalnya, laki-laki yang menjaga gawang saat main futsal dianggap 'tidak sejantan' yang menjadi penyerang. Apa hubungannya coba. Edan, bukan?
Belum lagi kontruksi sosial yang menganggap bahwa pria sejati itu—terlepas apapun kondisinya—adalah seseorang yang selalu wajib memberikan tempat duduknya kepada perempuan mana pun di dalam kendaraan umum.
Contoh yang lebih ekstrem? Laki-laki dianggap macho jika mereka merokok, memakai obat-obatan, dan minum minuman keras. Padahal riset membuktikan bahwa mengonsumsi ketiga benda tersebut justru merusak sistem imun dan kesuburan tubuh laki-laki.
Dengan kata lain, toxic masculinity adalah patokan perilaku dan budaya terkait peran gender tidak sehat yang diterima laki-laki "sesuai" bentukan maskulinitas konvensional dari masyarakat setempat. Ini berarti, sejak awal anak laki-laki telah mendapatkan pesan tentang apa artinya menjadi laki-laki di masyarakat tersebut. Sayangnya, tak tertutup kemungkinan, ekspektasi yang diberikan bagi laki-laki justru kaku dan sesat. Parahnya lagi, jika harapan tersebut tidak terpenuhi maka laki-laki itu akan menjadi sasaran ejekan bahkan menerima kekerasan.
Benar, sistem patriarki itu nyatanya bukan saja menyulitkan perempuan namun juga laki-laki. Secara tidak sadar, sistem tersebut membuat manusia hidup seperti binatang buas di hutan belantara. Hanya laki-laki terkuat, terbesar, tergarang, dan paling mendominasi yang bisa bertahan dan berkuasa. Selebihnya, hanyalah sampah masyarakat. Bebas dicerca dan dihina. Sayang sekali jika hal semacam ini terus dilanjutkan. Lantas, apa bedanya manusia dengan binatang kebanyakan?
Cara Terhormat Menjadi Laki-Laki Sejati
Hal yang paling sulit dari sebuah kritik atau protes adalah tuntutan solusi. Padahal, keduanya butuh proses yang berbeda dan tenaga berlipat ganda pula.
Sejujurnya, awalnya saya sempat bingung jika harus menawarkan solusi terbaik pascaprotes. Rasanya, setelah membongkar masalah, solusinya ingin saya serahkan saja pada pembaca. Alasannya sederhana. Pertama, saya bukan laki-laki. Kedua, terbaik itu standarnya apa? Ketiga, memangnya laki-laki percaya jika solusinya saya tawarkan seorang sendiri?
Tapi, setelah saya pikir-pikir, menggantungkan solusi rasanya juga kurang adil. Saya khawatir nanti ada pembaca yang merasakan sensasi kekecewaan mendalam. Semacam perasaan ditinggalkan padahal lagi sayang-sayangnya. Eaaakkk... Ampun dah, kemana-mana ini jadinya.
Syahrial bersama sang istri, Wynni |
Oleh sebab itu, meluncurlah saya mencari sudut pandang laki-laki yang pendapatnya dapat dijadikan referensi. Di sini saya mengambil dua referensi. Pertama, dari Syahrial. Seorang teman saya, pemuda Aceh pernah tinggal di Australia. Kedua, dari Justin Baldoni. Seorang aktor Amerika yang sangat terkenal dengan peran-peran "maskulinnya" dalam film yang ia lakoni.
Saat berdiskusi bersama Syahrial, ia memaparkan bahwa isu kesetaraan gender di Australia dan di Aceh ternyata punya segelintir perbedaan, namun tetap punya banyak persamaan.
Menurut Syahrial, di Australia, pembayaran gaji laki-laki—pada beberapa profesi di pemerintahan—ternyata lebih tinggi dibandingkan perempuan. Ini merupakan contoh nyata dari tindak ketidaksetaraan gender di Australia.
Mirisnya, sistem patriarki yang terjadi di Negara Barat ternyata tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Syahrial menyebutkan bahwa di Australia sendiri, perempuan yang keluar pada malam hari—terlepas apapun profesi dan keperluannya—masih dianggap sebagai perempuan enggak bener. Kemudian, jika terjadi tindak pemerkosaan atau kriminal, media di sana juga masih memakai diksi-diksi victim blaming; menyebarluaskan identitas korban namun nyaris minim informasi terkait pelaku tindak kejahatan.
Sebenarnya, [terkait kasus kesetaraan gender], wastern society tidak lebih baik dari pada our local society. Bukan tidak layak dibandingkan. Namun, tidak bisa juga dijadikan rujukan. ~ Syahrial ~
Yang harus dipahami laki-laki terhadap kesetaraan gender adalah bahwa sejatinya terdapat kesenjangan kekuasaan, power, antara laki-laki dan perempuan. Sehingga timbul potensi besar bagi perempuan untuk mengalami kekerasan.
Kenapa banyak laki-laki yang tidak sadar akan kesenjangan tersebut? Hal itu disebabkan karena mereka tidak pernah mengalami kekerasan serupa dan tidak melatih diri mereka untuk melihat kondisi masyarakat melalui perspektif feminisme.
Lantas, apakah tidak ada laki-laki yang mengalami tindak kekerasan? Tentu ada. Misalnya kasus pelecehan dan bullying. Toxic masculity inilah yang menjadi pemicunya. Ketika laki-laki dianggap gagal memenuhi standar "Mr. Perfect", maka tak jarang ia juga berpotensi menjadi korban.
Biasanya, orang-orang yang melakukan perundungan adalah kelompok manusia yang merasa memiliki power atau social capital atas manusia yang mereka bully. Dengan kata lain, ini mirip fenomena senjata makan tuan. Hegemonic masculinity yang dibentuk oleh para laki-laki, pada akhirnya justru memangsa korban di kalangan para laki-laki itu sendiri.
Fakta lapangan yang dikisahkan oleh Syahrial ternyata sejalan dengan apa yang dialami oleh Justin Baldoni di Amerika Serikat. Menurutnya, permasalahan toxic masculinity menjadi hal serius yang memicu terhalangnya proses perwujudan kesetaraan gender. Dia juga memaparkan bahwa tuntutan-tuntutan tidak masuk akal tersebut pernah membentuknya menjadi "sesosok pria yang menyeramkan".
Dalam TED Talk, Justin menceritakan bahwa label maskulinitas yang dibentuk terhadap laki-laki oleh masyarakat sosial sering memberikan tekanan, terutama mental. Laki-laki tumbuh dalam kekhawatiran dan ketakutan namun mereka tak berani membuka diri karena khawatir dianggap rapuh. Mereka rentan dan terasing dari kehidupan sosial, ingin meminta pertolongan, namun takut diejek lemah.
Para laki-laki terus tergerus emosi dan mentalnya karena dituntut untuk selalu menjadi "manly"; keras, kekar, tegas, tegar, berani, buas, bahkan cenderung 'nakal'.
Namun, Justin sendiri, yang tak hanya dipuja penonton perempuan, namun juga gaya hidupnya dijadikan panutan kaum laki-laki, menyatakan ketidaksetujuannya tentang potret laki-laki yang digembar-gemborkan industri perfilman dan juga masyarakat kebanyakan.
Apakah Anda cukup berani untuk menjadi rentan?
Apakah Anda mampu menjangkau pria lain saat membutuhkan bantuan?
Apakah Anda mampu menyelami rasa malu?
Apakah Anda cukup kuat untuk menjadi sensitif?
Apakah Anda cukup tangguh untuk menitihkan air mata dalam suka dan duka?
dan, Apakah Anda cukup percaya diri untuk mendengarkan wanita dalam hidup Anda?
Pada akhirnya, aku tidak mau hanya sekadar menjadi good man, namun aku juga ingin menjadi good human. ~Justin Baldoni~
Demikian, harapan yang diutarakan Justin di video singkat tersebut. Saya pribadi merasa bahwa apa yang disampaikan Justin cukup mewakili permasalahan yang dihadapi dan solusi yang dibutuhkan para laki-laki dalam menghadapi beragam ketimpangan perlakuan sosial. Untuk memudahkan pembaca, saya juga mencantumkan video lengkap dari speech yang disampaikan Justin yang dapat digunakan sebagai bahan acuan pemahaman bersama.
Nah, demikianlah sekilas permasalahan toxic masculinity yang pernah dihadapi para laki-laki. Semoga ragam sudut pandang dalam tulisan ini membuat kita semakin menyadari bahwa setara bersama itu selalu menjadi opsi yang lebih baik dan menyenangkan.
Oh iya, kira-kira kamu punya keresahan atau pengalaman buruk serupa, enggak ya? Yuk, share di sini bareng kita. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca.[]
0 Response to "Laki-Laki Sejati vs "Toxic Masculinity""
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!
(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)