The Floating School Aceh, Berlayar untuk Mengabdi
Aroma khas pesisir pantai yang terbakar terik mentari
sangat terasa petang itu, Jumat, 21 Desember 2018. Kapal-kapal
nelayan sandar sejak pagi di sepanjang Pelabuhan Lampulo, Banda Aceh, karena
Jumat merupakan hari pantang melaut di Aceh. Namun, aktivitas sebagian nelayan
yang hendak melaut seusai salat Jumat membuat suasana di pelabuhan itu hiruk
pikuk.
Ada nelayan yang menaikkan es balok, jeriken berisi air bersih, minyak
solar, alat tangkap, dan logistik untuk keperluan melaut beberapa hari. Ada
pula barang dagangan dan hasil tangkapan di laut yang baru sempat diturunkan dari
dek kapal, lalu diangkat dan didorong beramai-ramai ke daratan.
Dalam sekejap, Pelabuhan Perikanan Samudra Kutaraja
yang awalnya sunyi sejak pagi hingga salat Jumat, menjadi riuh rendah menjelang
petang layaknya lokasi transit bandara. Lokasi ini menjadi tempat bertukarnya
barang dagangan, hasil laut, dan pergantian penumpang yang menunggu giliran
diturunkan di Kota Banda Aceh atau diantarkan menuju Pulo Aceh di kawasan Aceh
Besar melalui jalur laut.
Petang itu, pukul 15.00 WIB, sebuah kapal kayu
bertolak dari Lampulo menuju Pulo Breuh, salah satu pulau dari dua bagian utuh
Pulo Aceh di wilayah Aceh Besar.
Gerombolan relawan The Floating School Aceh tampak duduk berjejer memenuhi geladak
kapal kayu bagian depan. Hal tersebut dilakukan bukan tanpa alasan. Jika
penumpang lebih ramai di sisi belakang kapal demi alasan mencari secuil
bayangan atap agar tak kepanasan selama penyeberangan, maka mesin kapal akan
berhenti berputar (sok). Maka, para
relawan pun memposisikan diri demi keamanan perjalanan, sembari menikmati angin
sepoi-sepoi dan pemandangan indah lautan lepas tentu diselingi sengat mentari,
selama lebih kurang dua jam hingga tiba di wilayah tujuan, Pulo Breuh.
Ini merupakan perjalanan terakhir pascapengajaran
enam bulan para relawan The Floating School
(TFS) Aceh untuk anak-anak Pulo di
desa Blang Situngkoh. Pelayaran kali ini berbeda dengan perjalanan TFS Aceh
yang biasanya dilakukan setiap dua pekan. Pada penghujung program TFS Aceh kali
ini, para relawan dan adik-adik asuh akan melakukan pameran karya dan
pergelaran hasil kreasi yang telah mereka pelajari selama setengah tahun lalu.
Kelompok anak kelas prakarya akan memerkan ragam
kreasi buatan tangan mereka selama enam bulan terakhir, termasuk hasil kreasi daur
ulang beragam sampah pesisir pantai Pulo Breuh. Sedangkan kelompok anak kelas
komputer akan melakukan presentasi dan promosi Pulo Aceh melalui kreasi slide yang telah mereka rancang bersama
jauh-jauh hari.
“Selama enam bulan menjadi fasilitator kelas
komputer, rasanya senang bercampur haru mendapati adik-adik yang awalnya masih
malu-malu belajar komputer, yang mengetik hanya menggunakan telunjuk, kini
sudah mahir membuat slide dan
mempresentasikannya di muka umum. Itu luar biasa,” tutur Rizki Akbar.
Menurut pria yang akrab dengan sapaan Ekky ini,
kelas komputer sangat dibutuhkan oleh anak-anak di Pulo Breuh. Mengingat
pelajaran komputer (TIK) terdapat di kurikulum mereka tapi tidak ada pengajar
pun sarana untuk mempelajari skill
tersebut. Di era digital, ilmu komputer menjadi sangat penting, apalagi
menyambut persaingan revolusi 4.0 seperti saat ini. Oleh karena itu, The Floating School (TFS) Aceh membuka kelas komputer untuk
menunjang kebutuhan tersebut bagi anak-anak Pulo Breuh.
Sementara itu, sang inisiator The Floating School (TFS) asal
Makassar yang membuka cabang program
TFS kedua di Aceh, Rahmiana Rahman, memaparkan bahwa tujuan utama program TFS
Aceh ini dibentuk adalah untuk memberikan akses/kesempatan pendidikan yang sama
untuk semua anak.
“Kita berharap dengan hadirnya TFS di Pulo Breuh,
anak-anak Pulo memiliki skill dan ilmu
serta daya jual. Mereka mampu mengurus pulau yang mereka tempati. Sehingga kelak
mereka dapat mencapai kemandirian.”
Kak Ammy, sapaan akrabnya, juga menambahkan bahwa
program TFS Aceh ini dipersiapkan dengan serius; mengandalkan data survey, monitoring
bahkan evaluasi. Bersama keempat anggota timnya yang berasal dari Aceh, Trisna
Mulyati, Zainuddin, Nurul Husna, dan Rizky Munazar, Kak Ammy berusaha
memanfaatkan secara maksimal sejumlah kecil dana hibah pendidikan yang mereka
dapatkan dari program Australia Grand untuk
pendidikan anak-anak di Pulo Breuh.
Program The Floating
School (TFS) Aceh yang berbasis kerelawanan ini selalu merekrut para anak
muda dari berbagai lini keahlian untuk ikut serta mengajar dan berbagi
inspirasi secara suka rela kepada adik-adik pulo di kelas komputer dan
prakarya. Selama program berlangsung, kedua kelas TFS Aceh ini difasilitatori
oleh Ekky, Gun, Ade dan Rita. Keempat fasilitator tersebut bertanggung jawab
menjalankan kelas selama enam bulan penuh. Adapun para relawan yang berhadir
tidak diwajibkan untuk selalu hadir selama program. Mereka bisa mendaftarkan
diri dan ikut serta program ini di waktu-waktu senggang yang mereka punya.
Kembali ke suasana penutupan program TFS Aceh Batch I yang berlangsung selama empat
hari tiga malam. Pameran tersebut berlangsung lancar dan meriah. Antusiasme
masyarakat yang semakin tinggi serta kobaran semangat para anak-anak Pulo Breuh
yang ingin terus belajar dan berkarya membuat banyak pihak berharap program ini
tidak berhenti sampai di sini saja.
Beruntung, seakan terijabahnya doa dari puluhan
hati, berdasarkan laporan hasil evaluasi maka keberlanjutan program The Floating School (TFS) Aceh sudah terkonfirmasi.
Kak Ammy menjelaskan bahwa program TFS Aceh mendapat sambutan dan antusiasme
positif dari berbagai pihak sehingga program ini layak untuk dilanjutkan.
“Hasil evaluasi program TFS Aceh sebelumnya sangat
positif, kita berencana meneruskan program tersebut ke tahap lebih lanjut.
Lokasi yang kita gunakan masih di Pulau Breuh namun dengan skala peserta yang
lebih luas. Target peserta tetap remaja Pulo dengan rentan usia 13-20 tahun,”
tutup kak Ammy mengakhiri sesi wawancara.
Bergabung bersama The Floating School (TFS) Aceh membawa ragam kenangan unik
tersendiri bagi setiap relawan. Semisal, ketakutan saat berlayar di lautan
lepas untuk pertama kali, terjalinnya pertemanan dan relasi antar sesama relawan,
sambutan masyarakat Pulo Breuh yang ramah, pesona alam yang indah hingga peluang
mengunjungi situs-situs sejarah yang menggugah. Namun yang terpenting adalah pembelajaran
dan hikmah yang didapatkan dari pancaran semangat dan harap para belia dan
remaja Pulo Breuh yang begitu ingin untuk belajar lebih banyak lagi. Iya, keinginan
mereka untuk berani bermimpi sedikit lebih tinggi. []
Jadwal Voluntrip The Floating School Aceh 2020
Jadwal Voluntrip The Floating School Aceh 2020
Artikel ini dipublikasikan di Tabloid Iqra' Nomor 1 Edisi 1 Februari 2019
0 Response to "The Floating School Aceh, Berlayar untuk Mengabdi"
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!
(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)