Cagar Budaya Indonesia dari Dua Provinsi Terujung Negeri Zamrud Khatulistiwa
Jika boleh mengagumi malam, setiap kali dalam dua pekan, maka
sanjungan itu akan saya berikan untuk sekumpulan anak muda yang memprakarsai
gerakan “Aceh Menonton”. Pasalnya, di tengah gerahnya masyarakat muda Aceh yang
kerap dibombardir ragam isu pesimis dan stigma negatif akan kehadiran bioskop
di Serambi Mekkah ini, ternyata masih ada sehimpunan sineas muda yang berhasil
menghantarkan semilir harapan melalui karya-karya film pendek mereka. Kehadiran
Aceh Menonton sendiri pada dasarnya merupakan sebentuk solusi demi menjawab
keresahan para pembuat film (sineas) di Aceh yang kesulitan mendapatkan ruang
eksibisi bagi karya-karya mereka.
Foto
disadur dari Instagram @acehmenonton_
|
Selasa, 12 November 2019, merupakan kali keempat saya menghadiri
pemutaran dan diskusi film yang digelar di Banda Aceh. Informasi dari akun
instagram @acehmenonton_ yang heboh di jagad maya menjadi acuan saya mengetahui
daftar kegiatan dan keberadaan ruang bioskop alternatif tersebut. Mulanya
kehadiran saya pada kegiatan itu semata-mata karena iseng dan penasaran saja.
Namun siapa sangka, pemutaran dan diskusi film yang digelar Aceh Menonton dapat
menyebabkan candu.
Awalnya, saya mengira bahwa film-film yang diputarkan oleh
panitia Aceh Menonton hanyalah sebatas rangkaian cerita modern yang mengangkat
kisah ala-ala film zaman now. Nyatanya, Aceh Menonton turut menyajikan tontonan bertemakan sejarah dan budaya.
Bukannya merasa jemu, justru penyampaian nilai-nilai sejarah dan budaya melalui
media bioskop alternatif dan sederhana tersebut entah bagaimana menjadikan tema yang kerap disajikan berat dan terasa jadul berubah menjadi lebih gaul.
Foto
disadur dari Instagram @acehmenonton_
|
Malam itu, melalui film-film yang diputarkan, para peserta yang
berhadir seakan dilempar ke masa lalu menggunakan mesin waktu. Tersebutlah
tiga judul film, "Pesan dari Batu Nisan, Sang Kolektor Muda, dan Kampung
MacArthur", yang memvisualisasikan rekam jejak perjuangan anak muda dan
masyarakat Aceh dan Papua dalam usaha mereka menjaga dan melestarikan kembali, melalui kisah dan
dokumentasi, potensi cagar budaya yang nyaris terlupa.
Nah, jika merujuk pada Undang-Undang No. 11, istilah Cagar
Budaya dapat didefinisikan sebagai: "Warisan budaya bersifat kebendaan
berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs
Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya, baik yang ada di darat maupun di air,
yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan melalui proses
penetapan."
Ketika menikmati ketiga film dokumenter bernilai sejarah dan budaya dari kehidupan masa lampau dan masa kini masyarakat di kedua Provinsi terujung
Indonesia, Aceh dan Papua, empati saya bergejolak hebat.
Film-film itu seakan menjadi lidah penyambung sekaligus media perawat ingatan
masyarakat akan kabar realita rekam jejak sejarah dan peninggalan budaya yang mulai luput diperhatikan oleh kita, masyarakat
Indonesia.
MacArthur dan Peninggalan Sejarah Perang Dunia II di Papua
Nama besar Jenderal Douglas MacArthur tentunya tak asing jika
dikaitkan dengan peristiwa Perang Dunia II yang terjadi di wilayah Timur
Indonesia. MacArthur dikenal sebagai pimpinan pasukan Sekutu yang melawan
Jepang di Morotai.
Membicarakan sejarah MacArthur di Papua, maka kita juga akan
teringat ragam benda Cagar Budaya Indonesia yang cukup populer di sana, seperti
Tugu MacArthur, Tangki Minyak Perang Dunia II, Tugu Peringatan Pendaratan
Tentara Sekutu, dan juga Tugu Peringatan Pendaratan Tentara Jepang pada Perang Dunia
II.
Foto
disadur dari liputan6.com
|
Akan tetapi, di balik ragam Cagar Budaya Indonesia yang terkenal
di Papua, ternyata masih banyak benda-benda peninggalan sejarah Perang Dunia II
yang belum terawat dengan baik. Seperti tank Landing Vehicle Track (LVT)
peninggalan Angkatan Laut Amerika Serikat yang ditemukan di hutan Es Mambo,
Distrik Kwor. Juga sisa peluru, rudal, amunisi, hingga nampan food
tray para tentara di masa perang yang ternyata masih menjadi koleksi
barang antik pribadi warga setempat. Keseluruhan situs dan benda penting
peninggalan sejarah Perang Dunia II itu tentu belum seluruhnya terdaftar
sebagai bagian dari Cagar Budaya Indonesia. Sehingga, peran serta masyarakat
dalam merawat, mendokumentasikan, dan mendaftarkan hal ihwal tersebut menjadi
penting.
Foto
disadur dari okezonecom
|
"Pada dasarnya sekutu tidak menyerang kita. Mereka hanya
menumpang lewat saja. Mereka tiba di sini pada malam hari, 30 Juni 1944."
Papar seorang saksi mata yang telah lanjut usia di dalam film Kampung
MacArthur tersebut.
Saat Perang Dunia II selesai, tentara Amerika Serikat tampaknya tidak saja meninggalkan
sisa peluru, mesiu, potongan rudal, dan tank di tanah Papua. Akan tetapi, tanpa sengaja mereka turut serta membawa bibit pohon
khas negara sana yang diduga tertempel pada roda tank selama menempuh
perjalanan.
"Tidak ada jenis pohon seperti ini dulunya. Pohon ini bukanlah jenis tumbuhan asli Papua. Warga menyebut tumbuhan ini pohon
Amerika. Daunnya jika direbus dan diminum bagus untuk obat sakit
kepala." Kata salah seorang warga lainnya.
Foto
disadur dari Instagram @acehmenonton_
|
Mengingat pentingnya menjaga bukti-bukti sejarah, maka koordinasi dan kolaborasi antar masyarakat dan
pemerintah wilayah setempat terkait benda-benda bernilai sejarah tersebut menjadi urgen untuk disadari bersama. Ketika hal tersebut tidak terjadi, maka akan kerap
didapati aset negara yang belum diketahui dan dirawat itu menjadi musnah seiring waktu. Yang lebih menyedihkan adalah ketika benda-benda bernilai
sejarah dunia itu dijual oleh warga kepada para kolektor barang antik dari luar
negeri. Sehingga, keberadaan benda bernilai sejarah dan budaya dari Perang
Dunia II itu akan semakin sulit ditemukan di wilayah Papua. Demikianlah yang tersebutkan dalam latar belakang kisah film
dokumenter Kampung MacArthur.
Film dokumenter yang disutradai oleh Danny Mambrasar itu
berhasil membuka mata penonton terkait begitu banyaknya benda-benda peninggalan
sejarah dunia yang terdapat di Papua, Provinsi paling Timur negara Indonesia.
Hal ini akan menjadi aset bernilai budaya dan sejarah yang amat berharga bagi
masyarakat Papua dan negara Indonesia, andai dapat dirawat dan dilestarikan
bersama.
Pesan dari Nisan Makam Kuno di Aceh
Lain lubuk, lain ikan. Lain ladang, lain belalang. Demikian
kata pepatah populer zaman baheula. Setelah membicarakan cagar
budaya dari Provinsi paling Timur Indonesia, Papua, sekarang saatnya kita
menilik kembali ragam cagar budaya di Aceh, sebuah Provinsi paling Barat Negeri
Zamrud Khatulistiwa.
Foto
disadur dari Instagram @mapesa_aceh
|
Jika melihat dari daftar ke-76 Warisan Budaya Aceh terkini (43 warisan budaya benda dan 33 warisan budaya tak benda) yang telah
diverifikasi pada data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, maka kita akan mendapati bahwa 1/3 dari total list tersebut
berkaitan erat dengan situs makam kuno. Maka tak salah ketika ketua
Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa), Mizuar Mahdi, bersama masyarakat
setempat menjadi cukup serius dalam gerakan meuseuraya (gotong
royong) penyelamatan dan perawatan kembali terhadap nisan-nisan
kuburan kuno-yang tumbang karena bencana alam, perluasan pembangunan
wilayah, atau terabaikan-di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar.
Menurut Mizuar, yang berhadir sebagai salah seorang narasumber diskusi
film "Pesan dari Batu Nisan" di acara Aceh Menonton,
rekam jejak sejarah dan nilai pengetahuan tentang Aceh masa lampau yang
autentik dapat ditemukan langsung melalui penelitian terhadap batu nisan di
situs makam-makam kuno. Dikarenakan kekhawatiran akan hilangnya
benda-benda budaya, terutama karena masih terbatasnya jangkauan pemerintah
untuk mengurus begitu banyak benda bernilai sejarah dan masih kurangnya
pemahaman masyarakat setempat, maka Mizuar pun menggerakkan komunitas Mapesa tersebut.
Foto
disadur dari Instagram @acehmenonton_
|
"Batu nisan merupakan prasasti sejarah berlimpah yang
dimiliki Aceh. Namun sayangnya, kita masih cenderung abai dalam merawat dan
mempelajari jejak sejarah autentik yang terdapat dari ukiran-ukiran nisan
tersebut. " Papar Mizuar.
Sejalan dengan pemikiran tersebut, sang kolektor muda manuskrip
kuno dan juga Direktur Pedir Meuseum, Masykur Syafruddin turut
menyampaikan kegelisahan yang sama terhadap fenomena terlupakannya benda-benda
bernilai sejarah untuk dirawat oleh masyarakat.
"Saat masih SMA dan mulai mengumpulkan manuskrip kuno, saya
kerap mendapati naskah-naskah bernilai sejarah dan ilmu pengetahuan yang terlantar di
tempat-tempat yang tidak layak. Ada yang diletakkan di atas plafon atap rumah,
bahkan tidak sedikit yang tertumpuk begitu saja di atap kandang ayam. Mungkin karena
masyarakat tidak lagi paham nilainya, jadi manuskrip kuno tersebut menjadi
terabaikan dan banyak yang rusak." Papar Masykur dalam acara diskusi film
tersebut.
Kisah Masykur dalam memperjuangkan dan mengajak masyarakat untuk kembali peduli merawat dan melestarikan benda-benda peninggalan sejarah masa lalu agar tidak musnah secara apik divisualisasikan dalam film dokumenter berjudul "Sang Kolektor Muda". Saya pribadi dibuat geleng-geleng kepala
olehnya.
Hal itu yang menjadikan saya bertanya, "Motivasi apa yang
membuat Masykur, saat masih menjadi pelajar SMA, sudah tertarik untuk
mengoleksi dan merawat benda-benda sejarah lampau?" Mengingat saat
seusianya dulu, saya sendiri masih asyik berleha-leha. Di mata saya, saat itu,
hampir semua hal berbau sejarah dan budaya terkesan jadul dan tidak keren.
Foto
disadur dari Instagram @acehmenonton_
|
Sembari tersenyum, kemudian Masykur pun menjawab, "Kala itu
saya sempat melihat dan mempelajari sedikit tentang manuskrip kuno. Lalu saya
penasaran, dan langsung mencari tahu di internet. Seiring belajar, saya semakin
paham bahwa naskah kuno dan juga batu nisan merupakan sebagian bukti
peninggalan sejarah Aceh dan dunia yang penting untuk dijaga. Melalui literatur
sejarah yang terdapat pada benda-benda tersebut, kita jadi lebih mengenal jati
diri kita yang sesungguhnya. "
Masykur juga memaparkan bahwa naskah kuno masih berlimpah di
masyarakat Aceh. Sehingga dibutuhkan usaha bersama untuk menyelamatkan literasi
bernilai sejarah tersebut. Selain upaya membeli naskah, Pedir Meuseum (yang
sedang menunggu hasil standardisasi museum dari Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia) turut memfasilitasi perawatan dan penitipan
naskah kuno dari masyarakat setempat. Tujuannya agar naskah-naskah kuno dan benda-benda
bernilai sejarah lainnya, seperti koin emas, keramik, pedang, guci, dan
perhiasan bernilai sejarah tidak dijual keluar, dengan tetap memberi keuntungan bagi
masyarakat.
Foto
disadur dari pedirmuseum.blogspot.com
|
"Naskah kuno dan nisan makam kuno itu harusnya dapat kita
pelajari kembali nilai-nilai sejarah dan budayanya. Kita rawat dan dokumentasikan
secara digital agar infonya mudah diakses dan tidak lenyap. Minimal nisan kuno
itu tidak berakhir menjadi sekadar batu asah pisau untuk memotong
daginglah." Timpal Mizuar sembari diiringi gelak tawa para
pendengar.
Mengingat begitu luasnya negara Indonesia ini, dengan ragam rupa
nilai budaya dan sejarahnya, dari Sabang hingga Merauke, maka tentu tak mungkin
jika kita hanya mengandalkan peran pemerintah, terkhusus Direktorat Pelestarian
Cagar Budaya dan Permuseuman, semata. Butuh andil masyarakat dari setiap
Provinsi, terutama anak muda negeri, untuk mau terlibat menjaga, melestarikan,
dan mendaftarkan Cagar Budaya Indonesia yang terdapat di daerahnya melalui
laman cagarbudaya.kemdikbud.goid . Baik cagar budaya yang
terdapat di darat maupun di bawah air, yang tangible (nyata dan
berwujud) seperti nisan, candi, benda-benda yang karam bersama kapal perang,
maupun yang intangible (tidak berwujud) seperti seni musik dan
tari. Kesemua itu merupakan peninggalan sejarah dan budaya yang merupakan
kekayaan negara Indonesia yang wajib dirawat dan dilestarikan bersama sesuai
amanat yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar
Budaya. []
Foto
disadur dari
|
Yuk, ikutan Kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia dengan tema Rawat atau Musnah. Bersama kita perkenalkan cagar budaya yang ada dan potensinya dari setiap daerah kita. Ditunggu ya kontribusi kalian juga. Terima kasih telah bertandang. #CagarBudayaIndonesia #KemendikbudxIIDN
Referensi
Anri Syairul. Tugu MacArthur dan Kisah PerangPasifik. Liputan6. Com tanggal 7 Februari 2015. Diakses tanggal 17 November 2019.
Bpcbbanten.
Pengertian Cagar Budaya Berdasarkan Undang-Undang Cagar Budaya. Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan tanggal 4 Maret 2019. Diakses
tanggal 17 November 2019.
Ditpcbm.
Kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan tanggal 31 Oktober 2019. Diakses tanggal 17 November 2019.
Dit. PCBM. Sampai 13 Juli 2017 26.953 Cagar Budaya Telah Terdaftar dan8.109 Cagar Budaya Terverifikasi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan tanggal 24 Juli 2017. Diakses tanggal 20 November 2019.
Francisca Chisty Rosana. MenemukanTank Perang Dunia II di Hutan Tambrauw Papua Barat. Tempo.Co tanggal 20 Mei 2018. Diakses tanggal 20 November 2019.
Jogloabang. UU 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Jogloabang.com tanggal 11 Oktober 2019. Diakses tanggal 20 November 2019.
PedirMuseum: Masykur Syafruddin Collections. Diakses tanggal 12 November 2019.
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya. Diakses tanggal 20 November 2019.
Utami Evi Riyani. Menyingkap Cerita di Balik Tank-Tank Sisa Perang DuniaII di Papua Barat. Okezone.Com tanggal 08 Maret 2019. Diakses tanggal 20 November 2019.
Warisan Budaya Benda dan Tak Benda Indonesia. Situs Budaya Kita. Diakses tanggal 20 November 2019.
Semoga pemerintah juga mensupport apa sudah dilakukan masyarakat terkait upaya penyelamatan benda-benda bersejarah sehingga tidak musnah dan dan dapat terawat dengan baik.
BalasHapusBenar. Semoga terjalin kerja sama yang lebih intens antara masyarakat yang sudah bergerak menjaga cagar budaya dengan program-program pemerintah yang semakin kreatif dan progresif.
Hapus