Mengungkap Lengkap Sisi Tersembunyi Kronologi Kasus Saiful Mahdi
Alkisah di 1/3 akhir masa menuju penghujung tahun. Di sisa-sisa bulan menyambut kedatangan bonus demografi. Di sebuah wilayah terbarat Indonesia. Pusat ibu kota dari Provinsi bekas konflik. Di sepetak wilayah yang dahulu dikenal dengan nama Darulharb. Sayup-sayup terdengar kabar perseteruan yang tampak main-main namun serius. Terkait pencemaran nama baik dikarenakan sebuah kritik. (klik untuk baca pengantar kisah)
Satu persatu media mulai mencuatkan kisah konflik yang mulai ramai menjadi sorotan dan dipertanyakan warga dunia maya dan nyata. Siapa? Ada apa? Mengapa? Bagaimana?
Penjelasan pun mencuat satu persatu. Membentuk puzzle-puzzle opini yang menghasilkan empati, rasa ngeri, asumsi, hingga caci maki. Seperti biasa, tipikal penduduk di negara +62 yang punya keahlian meramal dan menarik kesimpulan cukup melalui pecahan-pecahan cerita di sosial media. Tanpa peduli ulang kaji, konfirmasi, apalagi meneliti. Habisnya asumsi itu layaknya micin a.k.a MSG, bahaya sih jika dikonsumsi, namun terlanjur adiksi.
Baiklah, untuk memulai cerita, mari mula-mula saya perkenalkan tokoh utama dari kisah kali ini. Namanya Dr. Saiful Mahdi, S.Si, M.Sc. atau yang juga dikenal dengan inisial SM. Dari tokoh ini, kita akan mulai mengupas sisi-sisi tersembunyi dan bukti-bukti yang tak terlihat di kebanyakan media. | Penjelasan UU ITE menurut saksi ahli - klik di sini.
Terima kasih untuk setiap insan yang sudah mengizinkan saya merangkum dan mempublikasikan kisah dan foto-foto ini untuk dinikmati masyarakat ragam usia, mulai dari penduduk dunia maya, nyata, hingga antariksa. Selamat membaca.
***
Masih ingat Marsinah? Sang pejuang buruh yang menolak upah murah. Merebus kata-kata protes hingga membakar amarah para penguasa. Kemudian hidupnya berakhir tragis karena tetap tak menyerah, demi mempertahankan kebenaran dan keadilan bagi kaumnya.
Melalui kisah Marsinah, kita belajar satu hal, "Kebenaran punya peluang kalah dan dipersalahkan". Ini bukan pembukaan pesimis demi memulai kisah yang sedang panas-panasnya. Ini seni realistis untuk mengajak kita semua berpikir jauh. Sejatinya, keadilan di dunia sosial tidak dapat ditegakkan seorang diri. Sebenarnya, walau tak kasatmata, penduduk dunia ini punya tali-temali takdir yang saling terhubung. Ketika kita memutuskan untuk apatis dengan penderitaan dan masalah orang lain, sejatinya kita sedang memutuskan tali takdir rasa peduli dari penduduk bumi lainnya. Dengan kata lain, kita ikut mengasingkan diri dari kebenaran dan hak-hak serupa milik kita, yang seharusnya dibela.
Apa untungnya PEDULI terhadap kasus Saiful Mahdi?
Secara pribadi dan gamblang bisa dikatakan, TIDAK ADA.
Dukungan kita untuk SM sejatinya tidak membawa manfaat langsung, apapun, bagi diri kita. Tentunya dengan peduli terhadap kasus ini kita tidak serta merta mendapatkan tambahan uang jajan, diberikan pekerjaan, dijanjikan jabatan, dijodohkan, eh? Sama sekali tidak ada untungnya memang. Namun, ...
Namun, keterlibatan kita terhadap kasus SM lebih kepada dukungan kesamaan visi dalam membela Kebebasan Mimbar Akademik untuk tetap terbuka sebagai wadah berpikir serta bertindak Kritis dan Kreatif. Sehingga, terbuka kesempatan bagi para civitas academica, bahkan masyarakat, menggunakan rasa penasaran (curiousity) dalam keilmuan untuk membangun kampus dan negeri dengan menjunjung tinggi transparansi dan dialog kritis tanpa khawatir dipolisikan.
Semacam menjadi bagian partisipan yang bertujuan menyadarkan diri dan masyarakat kembali bahwa sejatinya kampus adalah tempat yang "seharusnya" aman dan toleran dalam menampung ide, kritik dan saran. Jadi, ketika kampus menjadi wahana tendensius dan dipenuhi kecemasan bahkan ketakutan, maka kondisi itu harus ditilik ulang. Ingat, kampus a.k.a universitas itu sejatinya milik rakyat. Maka, masyarakat tidak boleh serta merta bungkam dan apatis terhadap segala persoalan yang sedang terjadi di lingkungan tersebut.
Semacam menjadi bagian partisipan yang bertujuan menyadarkan diri dan masyarakat kembali bahwa sejatinya kampus adalah tempat yang "seharusnya" aman dan toleran dalam menampung ide, kritik dan saran. Jadi, ketika kampus menjadi wahana tendensius dan dipenuhi kecemasan bahkan ketakutan, maka kondisi itu harus ditilik ulang. Ingat, kampus a.k.a universitas itu sejatinya milik rakyat. Maka, masyarakat tidak boleh serta merta bungkam dan apatis terhadap segala persoalan yang sedang terjadi di lingkungan tersebut.
Perlu diingatkan kembali bahwa kampus-kampus hadir untuk menyejahterakan dan mencerdaskan masyarakat. Untuk membangun masyarakat cerdas, kita juga butuh orang-orang jujur dan cerdas dalam lingkungan tersebut. Biasanya, manusia-manusia kampus yang brilian tidak mudah ditundukkan karena mereka punya keunikan pemikiran dan tindakan tersendiri. Sehingga, peran pimpinan yang "bijak" di universitas-universitas sangat dibutuhkan. Sosok-sosok pemimpin yang seharusnya mengademkan ketika ada yang bertikai, berbesar hati dan mengayomi ketika ada civitas academica yang "ngambek", pemimpin yang paham bahwa kemajuan sejati sebuah lembaga selalu dimulai melalui penguatan kualitas dari dalam. Layaknya prinsip yang dipertahankan Jack Ma, sang pemilik Alibaba, dari dulu hingga sekarang, bahwa "customer first, employee second, and shareholder third".
Dengan kata lain, jika dibawa prinsip ini ke dunia kampus maka Jack Ma menyarankan agar para pemimpin memberi fokus dalam melayani kebutuhan mahasiwa dengan baik. Cara agar mahasiswa terlayani dengan baik adalah dengan memberi kenyamanan dan dukungan bagi para dosen dan civitas academika berkarya. Sehingga, mereka senang membimbing para mahasiswanya.
Ketika kedua kunci utama itu terpenuhi, maka konsep ketiga, yang dianggap bonus oleh Jack Ma, boleh dijalankan. Seperti, menjalin kerja sama dengan ragam investor, para petinggi kampus-kampus dunia-akhirat, pembesar umat manusia, bangsa jin dan malaikat, dan ragam polesan lainnya. Tapi, tetap prinsip utama yang harus dipegang para pemimpin universitas adalah pemenuhan hak dan keadilan bagi manusia-manusia di dalam kampus-kampus itu sendiri.
Tentu, hanya pemimpin cerdas dan bijaksana yang mampu mengayomi para manusia cerdas lainnya. Seperti nasihat lain dari Jack Ma. "Mengurusi dan mempersatukan orang-orang bodoh dan penurut itu tidak sulit. Bagi saya, yang paling sulit adalah membuat orang-orang cerdas ini bebas berkarya dan tetap mau bekerja sama. Itulah sejatinya tugas saya sebagai pemimpin."
Pada salah satu episode acara ILC (Indonesia Lawyers Club), Rocky Gerung pernah mengutarakan analisanya. "Biasanya, jika terdapat dua pihak yang bertemu dan berseteru, seharusnya kita sadar bahwa terdapat kemungkinan kehadiran pihak ketiga yang berkepentingan."
Nah, merujuk pada analisa Rocky, sejatinya kita patut membahas hal ini dengan saksama.
Dibandingkan fokus menilik jawaban dari pertanyaan awam, "Mengapa sih pihak SM dan TS berseteru?"
Dibandingkan fokus menilik jawaban dari pertanyaan awam, "Mengapa sih pihak SM dan TS berseteru?"
Bukankah lebih asyik jika pertanyaan sedikit lebih dicerdaskan, misal, "Apa sih UNTUNGnya jika mereka berdua berseteru? Lantas, SIAPA pihak yang diuntungkan dari perseteruan keduanya?
Sesungguhnya apa sih standar baku rasa tersinggung, terdiskreditkan, dan pencemaran nama baik? Bingung.
Soalnya, di banyak kasus yang punya standar baku saja bisa timbul konflik dari respons yang bias. Misalnya nih, terkait permasalahan berat badan. Ketika para wanita menanyakan pertanyaan mematikan, "Sayang, aku gemukan enggak sih?" Seketika bercucuranlah keringat dingin para pria yang kebingungan menjawab dan memberikan pendapatnya. Padahal, jawabannya mudah sekali karena standar baku berat badan itu, gemuk atau tidak, telah ditetapkan oleh ahli gizi dan kesehatan. Namun masalahnya adalah bukan si pria tidak punya standar baku kebenaran untuk jawaban tersebut, namun si pria terjebak dalam standar pembenaran perasaan yang ingin didengarkan wanitanya.
Jika memakai standar baku, maka skenarionya akan seperti ini.
Wanita: Sayang, aku gemukan enggak sih?
Pria: Sayang, kamu bisa lihatkan, jarum timbangannya nyaris membentuk lingkaran purnama. Kamu memang rada gemukan sih. Tapi enggak masalah, toh aku tetap cintah.
Pria: Sayang, kamu bisa lihatkan, jarum timbangannya nyaris membentuk lingkaran purnama. Kamu memang rada gemukan sih. Tapi enggak masalah, toh aku tetap cintah.
Wanita: (Muka merah padam. Melempar selimut dan bantal ke luar kamar) Dasar enggak peka. Gak punya perasaan. Nih, malam ini, kamu tidur di sofa kamar tamu.
Jika memakai standar perasaan, maka skenarionya seperti ini:
Wanita: Sayang, aku gemukan enggak sih?
Pria: Enggak dong Sayang. Kamu tetap cantik seperti biasa.
Wanita: (Manyun) Kamu bohong. Lihat nih jarum timbanganku. Pokoknya, besok aku mau DIEt.
Pria: Tapi kan Sayang, kamu itu enggak harus ...
Wanita: Ah, kamu itu ngeselin deh. Pokoknya, malam ini kamu tidur di sofa.
Nah, inti dari percakapan sampah di atas adalah tidak peduli ada tidaknya standar baku suatu perkara, jika yang ingin dipertahankan adalah PEMBENARAN maka KEBENARAN seakan sia-sia untuk diutarakan. Namun, apapun yang terjadi, kebenaran itu tetap harus dibela.
Sejatinya, perlu kita sadari bersama bahwa kritik berbalut satire dan saran rasa sarkasme sudah menjadi tradisi para akademika jauh-jauh hari. Bahkan KH. Agus Salim, sang genuis nan bijaksana, sangat kerap menerima sindiran-sindiran di muka umum dari lawan-lawannya. Namun beliau tidak mudah tersulut dan gegabah dalam bertindak. Sebaliknya, dengan tenang dan elegan, beliau akan memberi klarifikasi di muka umum melalui lelucon satire lainnya, yang telak membantah tuduhan pihak lawan dan ditutup gelak tawa para pendengar.
Mungkin, kita harus memperbanyak membaca kembali sejarah tata krama, kepemimpinan, diplomasi, dan guyonan orang-orang hebat terdahulu. Meredam pertengkaran dan mengayomi kritik serta perbedaan pendapat dengan cara yang bijaksana.
Sehingga, jika kembali merujuk pada kasus SM, mungkin seharusnya pihak yang merasa dituduh harus merespons tuduhan itu dengan klarifikasi dan bukti (jika dirasa perlu). Jika memang dianggap tuduhan itu merupakan salah paham, dapat pula digelar diskusi terbuka bersama untuk memaparkan bukti analisa masing-masing. Sehingga, asumsi-asumsi keliru dapat diatasi. Bukankah suasana kampus idealnya seperti itu? Jika kampus melarang civitas academica cari-cari masalah dan berpikir kritis, maka skripsi dan jurnal seyogianya juga harus dilarang jauh-jauh hari. Inti dari penelitian itu sejatinya kan sama saja dengan kasus ini, sama-sama cari masalah. Sayangnya i'tikad cari-cari masalah SM tidak mendarat di meja asesor publikasi karena tidak diberi kesempatan untuk presentasi ke publik, namun justru diundang ke kantor polisi. Tanya kenapa?
Adapun awal mula permintaan klarifikasi itu terjadi karena SM mempertanyakan keanehan analisa data relevansi penilaian seorang calon CPNS Unsyiah yang tidak lulus. Pasalnya si calon CPNS itu, sebut saja namanya Trisna, lulus tes CAT (SKD: 376) sebagai kandidat dengan nilai top 10 tertinggi di Unsyiah dan nilai tertinggi pertama di JurusanTeknik Industri. Namun, dinyatakan gagal sebagai CPNS Unsyiah. (klik)
Sejujurnya, dulu saat membaca pengumuman kelulusan CPNS Unsyiah dan mengetahui bahwa Trisna gagal, saya sempat heran. Saya tahu sosok Trisna sejak MTsN, walau tidak terbilang akrab. Tapi, kita tahulah teman-teman yang punya bakat-bakat pikiran dan jiwa cemerlang nan terang benderang di masa depan.
Nah menurut saya, kalau Unsyiah kehilangan dia, semacam menolak sebongkah emas murni untuk dirancang sebagai processor tenaga pendidik untuk menggeliatkan kinerja digitalnya universitas. Soalnya, sekelas alumni Australian Award yang menerima tiga tawaran beasiswa berbeda untuk studi masternya, dengan segudang bakti sosial masyarakat yang dikerjanya dan enggak neko-neko, plus nilai CAT yang enggak kaleng-kaleng, sosok sempurna untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa dengan kecerdasan pikiran dan perasaan, lantas tidak lulus? Nah, jangankan setingkat SM yang ahli statistika dan analisa data, saya saja yang kecerdasannya di bawah rata-rata Alien planet Mars juga mempertanyakan hal serupa. Salahnya di mana, kok enggak lulus ya? Gitu.
Hal menarik lainnya adalah, jika kita kaji baik-baik, dalam kalimat tersebut SM tampaknya tidak merujuk pada maksud mencemarkan nama baik pihak tertentu. Pernyataan SM pun lebih banyak mengarah kepada pertanyaan-pertanyaan yang seakan meminta konfirmasi, "Benar enggak sih kejadian gini dan gitu terjadi?"
Sejujurnya, dulu saat membaca pengumuman kelulusan CPNS Unsyiah dan mengetahui bahwa Trisna gagal, saya sempat heran. Saya tahu sosok Trisna sejak MTsN, walau tidak terbilang akrab. Tapi, kita tahulah teman-teman yang punya bakat-bakat pikiran dan jiwa cemerlang nan terang benderang di masa depan.
Nah menurut saya, kalau Unsyiah kehilangan dia, semacam menolak sebongkah emas murni untuk dirancang sebagai processor tenaga pendidik untuk menggeliatkan kinerja digitalnya universitas. Soalnya, sekelas alumni Australian Award yang menerima tiga tawaran beasiswa berbeda untuk studi masternya, dengan segudang bakti sosial masyarakat yang dikerjanya dan enggak neko-neko, plus nilai CAT yang enggak kaleng-kaleng, sosok sempurna untuk mendidik dan mencerdaskan anak bangsa dengan kecerdasan pikiran dan perasaan, lantas tidak lulus? Nah, jangankan setingkat SM yang ahli statistika dan analisa data, saya saja yang kecerdasannya di bawah rata-rata Alien planet Mars juga mempertanyakan hal serupa. Salahnya di mana, kok enggak lulus ya? Gitu.
Hal menarik lainnya adalah, jika kita kaji baik-baik, dalam kalimat tersebut SM tampaknya tidak merujuk pada maksud mencemarkan nama baik pihak tertentu. Pernyataan SM pun lebih banyak mengarah kepada pertanyaan-pertanyaan yang seakan meminta konfirmasi, "Benar enggak sih kejadian gini dan gitu terjadi?"
Menurut keterangan LBH, saat teks tersebut dilayangkan ke dalam grup, Dekan FT yang merasa tidak nyaman dengan pernyataan SM, Taufik Saidi (TS) justru tidak masuk sebagai anggota grup tersebut. Uniknya, TS mendapatkan berita tersebut dari orang lain. Artinya, pesan tersebut dibawa ke luar pembicaraan grup tanpa izin. Tadaaa... Padahal di dalam grup sudah ada aturan internal bahwa segala percakapan tidak dapat diberitakan ke luar tanpa izin yang menyatakan.
Uniknya, pada isi pesan di grup tersebut, SM hanya menuliskan hal yang mempertanyakan kondisi "jajaran kepemimpinan FT". Mengapa justru TS yang berada di luar grup yang bereaksi ya? Bingung? Sama dung.
Uniknya, pada isi pesan di grup tersebut, SM hanya menuliskan hal yang mempertanyakan kondisi "jajaran kepemimpinan FT". Mengapa justru TS yang berada di luar grup yang bereaksi ya? Bingung? Sama dung.
Ah, jadi teringat kata pepatah zaman baheula, "Titip uang, berkurang. Titip pesan, berlebih." Ya udah, titip canda aja deh untuk para pembaca semua, biar gak serius kali.
Baiklah, lanjut lagi kronologi kasusnya.
Sebelum ditetapkan sebagai terdakwa, SM telah dua kali dipanggil polisi sebagai saksi dan keduanya dipenuhi. Pemanggilan SM oleh pihak polisi terjadi karena, menurut berita, SM tidak mau meminta maaf. Kronologi masalah yang diberitakan media menyatakan bahwa SM sudah dipanggil untuk mengikuti sidang etik dan dinyatakan bersalah oleh pihak senat. Kemudian mendapatkan surat teguran dari rektor, melalui hasil keputusan sidang kode etik, untuk meminta maaf.
Tahukah Anda
Menurut keterangan LBH Banda Aceh, kuasa hukum SM, bahwa....
1. SM tidak pernah menerima surat panggilan Sidang Etik karena surat panggilan yang dia terima hanya sebagai Narasumber untuk mengkonfirmasi maksud dari isi pesan WA yang ia kirimkan.
2. Pasca memenuhi undangan sebagai Narasumber klarifikasi tersebut, dengan membawa ragam data analisa untuk opini bernas yang dilontarkannya yang dijelaskan oleh SM kepada anggota senat berhadir. Ia pun diminta pulang tanpa mendapatkan masukan, tidak pula klarifikasi kesalahan, dan putusan apapun.
3. Selang beberapa waktu, SM mendapatkan surat dari rektor yang menyatakan dia bersalah atas keputusan sidang etik yang telah digelar dan diminta untuk memohon maaf di grup tersebut dan jajaran petinggi FT dalam waktu 1x24 jam. (Ingat kembali poin 1).
4. SM memutuskan tidak minta maaf karena:
a. Dia tidak pernah mendapat undangan untuk sidang etik
b. Saat hadir memenuhi undangan sebagai narasumber klarifikasi, tidak pernah dinyatakan penjelasan terkait kesalahan SM.
c. Dilaporkan ke polisi tidak termasuk dalam bagian teguran rektor untuk meminta SM apologize.
(Hah, mari bersama bernafas sejenak, sebelum melanjutkan pencarian permata fakta di lautan hoaks).
(Hah, mari bersama bernafas sejenak, sebelum melanjutkan pencarian permata fakta di lautan hoaks).
Sejujurnya, ketika membaca berita "Hasil Sidang Etik, Saiful Mahdi Bersalah", saya pun keheranan. Lantas memutuskan untuk bernyanyi, membawakan dua tembang. Begini kira-kira liriknya. Yuk, kita nyanyikan sama-sama. Semuanya, lambaikan tangan ke atas ya. Mari kita hayati musik dan setiap penggalan lirik dalam alam imajinasi masing-masing. Baiklah... musik.
Tembang pertama, "Terkejut aku terheran-heran ..." (dinyanyikan dengan nada lagu Si Borong-borong)
Tembang kedua, "Siapa benar? Siapa Salah? Mana sebenarnya yang salah?" (lagu Malaysia oleh Iwan)
Baiklah, cukup nyanyinya. Berhubung saya hanya merangkum semua berita dan bukti, maka mari sama-sama kita tunggu info-info tambahan lainnya. Perlu diingat bahwa kedua belah pihak "berpotensi" untuk jujur. Maka oleh karena itu, mari kita gunakan akal sehat dan mata batin, tentu tanpa amarah dan ego kepentingan, dalam menganalisa masalah ini.
***
Sedikit Kisah tentang Ilmuan dalam Rentetan Konflik
Sejatinya, ilmuan dan pejuang idealis yang terjerumus dalam konflik itu tidak sedikit. Dari kisah Sutan Sjahrir, sang ilmuan pendiri Indonesia yang dipenjarakan dan diasingkan oleh sejawatnya sendiri hingga akhir hayatnya. KH. Agus Salim, ulama super cerdas, penutur 9 bahasa, diplomat, dan wartawan, yang hidup melarat karena keluar dari pekerjaannya, disebabkan tidak inginnya ia mengkhianati bangsanya, sehingga menentang perintah bosnya yang seorang Belanda. Hingga Tan Malaka, the forgotten founding father of Indonesia, yang ditentang, dihina, bahkan karyanya dibakar, karena dituduh komunis. Dalam sebuah kata-kata mutiara, Tan Malaka mengklarifikasi tuduhan tersebut dalam guyon.
Haaaaahhh...... tik...tok...tik...tok...tik...tok...
Baiklah, sudah cukup ya galaunya.
Mari kembali fokus terkait tema konflik.
John A. Barnes dalam bukunya sempat membahas tentang konflik kepemimpinan JFK. Melalui buku berjudul John F. Kennedy on Leadership itu, kita dapat mempelajari sudut pandang-sudut pandang unik dari sebuah konflik, terutama di dunia politik kekuasaan.
Seakan paham benar makna pepatah, "menang jadi arang, kalah jadi abu," dalam urusan konflik, JFK menjadi sosok pemimpin USA yang lebih menyukai jalur diplomasi dan negosiasi dibandingkan perang, sekalipun lawannya adalah Rusia. Namun sayangnya, di akhir cerita, karena mempertahankan gengsi dan tersulutnya emosi atas ragam saran sejawatnya, JFK pun sempat mengambil jalur perang pada salah satu kasus wilayah yang dihandlenya. Itu merupakan salah satu putusan terburuk yang akhirnya ia sesalkan seumur hidup.
Haaaaahhh...... tik...tok...tik...tok...tik...tok...
Baiklah, sudah cukup ya galaunya.
Mari kembali fokus terkait tema konflik.
John A. Barnes dalam bukunya sempat membahas tentang konflik kepemimpinan JFK. Melalui buku berjudul John F. Kennedy on Leadership itu, kita dapat mempelajari sudut pandang-sudut pandang unik dari sebuah konflik, terutama di dunia politik kekuasaan.
Seakan paham benar makna pepatah, "menang jadi arang, kalah jadi abu," dalam urusan konflik, JFK menjadi sosok pemimpin USA yang lebih menyukai jalur diplomasi dan negosiasi dibandingkan perang, sekalipun lawannya adalah Rusia. Namun sayangnya, di akhir cerita, karena mempertahankan gengsi dan tersulutnya emosi atas ragam saran sejawatnya, JFK pun sempat mengambil jalur perang pada salah satu kasus wilayah yang dihandlenya. Itu merupakan salah satu putusan terburuk yang akhirnya ia sesalkan seumur hidup.
Kasus yang dialami JFK sejatinya punya 100% kemungkinan untuk terulang kembali, dalam ragam versi, kepada para pemimpin dan petinggi kita di zaman sekarang dan di masa yang akan datang. Konflik-konflik kecil yang membesar, tidak kunjung selesai, dan akhirnya ditunggangi kepentingan pihak-pihak lainnya, secara sadar atau pun tidak.
Kemudian dalam bukunya, Masa Depan Dunia, KBA membahas ragam kemelut konflik dunia dalam cara yang menarik. Menurutnya, tidak semua konflik terjadi secara alami. Terdapat juga konflik yang diciptakan (buatan) yang digunakan oleh pihak-pihak tertentu (biasanya penguasa) untuk mencapai misi yang diinginkan.
Oleh karenanya, sebagai orang awam yang menilai masalah ini dari kedua sisi, saya ingin mengajak masyarakat pembaca untuk kembali bertabayyun dan menilai masalah ini dengan kepala dingin. Jangan mudah terprovokasi dengan ragam berita yang disajikan sekilas.
Ada baiknya, kita tetap mendoakan kedua belah pihak agar mendapatkan solusi paling bijak. Mari sama-sama mensupport kedua belah pihak secara manusiawi, sehingga masalah ini tidak sampai melukai keduanya lebih jauh lagi. Karena jika ditilik dengan bijak, SM dan TS sejatinya sama-sama menjadi korban. Tentu pihak keluarga dan orang-orang terdekat dari kedua belah pihak pastinya merasakan kesedihan dan kegelisahan yang sama.
Ada baiknya, kita tetap mendoakan kedua belah pihak agar mendapatkan solusi paling bijak. Mari sama-sama mensupport kedua belah pihak secara manusiawi, sehingga masalah ini tidak sampai melukai keduanya lebih jauh lagi. Karena jika ditilik dengan bijak, SM dan TS sejatinya sama-sama menjadi korban. Tentu pihak keluarga dan orang-orang terdekat dari kedua belah pihak pastinya merasakan kesedihan dan kegelisahan yang sama.
Saya jadi ingat curhatan salah satu civitas academica Unsyiah yang notabenenya juga alumni dari Universitas tersebut, terkait kegelisahannya akan maraknya kasus ini. Sejatinya, dia adalah anak muda yang tegar, punya visi dan tindakan positif, vokal, dan sangat percaya diri. Katanya, "Saya merasa tak kuasa melihat kasus semacam ini. Bingung. Kampus sudah seperti ini. Saya tidak bisa berbuat apa-apa. Saya merasa seperti debu."
Saya yang mendengarkan hanya bisa bungkam. Jika anak muda sepositif dia saja bisa merasa seperti debu, lantas saya apa? Amoeba? Alhasil, kegelisahan itu berhasil membuat saya bengong plus galau di sepanjang jalan kenangan menuju pulang. Di dalam keterbengongan saya yang dalam selama berkendaraan, lewatlah semilir angin lembut yang tanpa saya sadari membawa serta segerombolan debu halus dan menampar wajah saya dengan cepat. Seketika saya tersadar dari lamunan, kesakitan, mungkin tepatnya agak marah karena terkejut. Walau sejatinya tamparan debu yang dibawa angin tadi sama sekali tidak melukai, apalagi membekas secara fisik. Kejadian simpel yang cukup mengejutkan itu membuat saya agak tidak nyaman. Padahal, andai saja saya tidak ditampar debu, saya nyaris melenggang kangkung dalam parit selebar dua hasta. Disebabkan terlalu asyik bersangak-sangak ria, lupa fokus melihat fakta bahwa saya sedang berkendaraan di jalan raya yang penuh bahaya.
Setiba di rumah, saya kembali melanjutkan ritual kebengongan yang sebelumnya tertunda. Di titik itu, saya menyadari bahwa ternyata "sedebu" apapun suatu hal atau kontribusi seseorang, jika dikumpulkan dan digerakkan secara berjamaah maka akan memberi "gaung" yang tentunya enggak kaleng-kaleng.
Atas berkat inspirasi tamparan debu jalan raya, saya pun memutuskan untuk mengumpulkan ragam sudut pandang, informasi, dan klarifikasi akan kasus Saiful Mahdi (SM) dan Taufik Saidi (TS). Walau kedua belah pihak sama-sama mengklaim kebenaran, yang perlu kita ketahui bersama adalah kebenaran sejati hanyalah milik Allah, Sang Maha Tahu segala isi hati dan hal-hal yang tersembunyi. Wamakaru wamakarallah, wallahu kahirul maakirin (Manusia membuat siasat, Allah pun membuat siasat. Sungguh, siasat Allahlah yang terbaik).
Namun sebagai manusia, kita patut berusaha untuk mencari kebenaran yang paling mendekati kebenaran hakiki. Sehingga, postingan ini dibuat dengan niat tulus agar pembaca memperoleh informasi yang cukup beragam dari banyak sudut pandang. Sehingga dapat meluruskan kesalahpahaman, meredam amarah, dan mengademkan sikap saling tuding dari kasus tersebut. Pada akhirnya kita harapkan bersama agar perkara tersebut dapat diselesaikan dengan DAMAI.
Semoga maksud dari tulisan ini tersampaikan dan dapat dicerna sempurna oleh para pembaca cerdas dan baik hati. Oleh karenanya, sebelum saya serahkan sepenuhnya kesimpulan pada penilaian pembaca, saya ingin membagikan sebuah nasihat bijak dari Cak Nun terkait konflik dan opini.
Semoga maksud dari tulisan ini tersampaikan dan dapat dicerna sempurna oleh para pembaca cerdas dan baik hati. Oleh karenanya, sebelum saya serahkan sepenuhnya kesimpulan pada penilaian pembaca, saya ingin membagikan sebuah nasihat bijak dari Cak Nun terkait konflik dan opini.
"Puncak ilmu bukanlah sudut pandang, tetapi lingkar pandang. Seperti orang yang mengitari ka'bah itu supaya mendapatkan sudut yang tak terhingga. Itulah hakekat kehidupan yang sebenarnya. "
Mantul kak, semoga analogi yang kakak sampaikan dalam beberapa kasus di atas dapat membuka jalan untuk menunjukkan kebenaran dan kedua orang yang bertikai bisa memilih jalan damai. Kita pun bisa mengambil pelajaran dari kasus ini.
BalasHapus