Tiga Strategi Kunci Pelibatan Keluarga dalam Mendidik Anak di Era Kekinian
Anak yang hanya menerima didikan di sekolah merupakan 'anak yang tidak terdidik'.
- George Santayana-
Mengajar murid-murid tingkat awal sekolah dasar merupakan impian saya sejak dulu. Siapa sih yang tidak senang menghabiskan waktu berlama-lama bersama para manusia lucu nan imut itu? Selain itu, materi pembelajaran yang diajarkan pun sangat mudah. Tak perlulah bersusah-susah memikirkan turunan persamaan matematika dari buku kalkulus layaknya saat kuliah dulu. Cukup menghitung penjumlahan satuan hingga ratusan atau paling sulit perkalian dan pembagian. Untuk bacaan? Itu sih lebih gampang. Cukup mengajarkan para murid mengeja dan membaca maka selesai urusannya. Mendidik anak-anak pasti merupakan perihal gampang dan menyenangkan bahkan di era kekinian. Asumsi saya sekenanya.
Hingga pada minggu awal penobatan saya
sebagai guru pengganti sang wali kelas dua di sebuah sekolah dasar
swasta, kejadian tak terduga mulai meruntuhkan satu persatu asumsi yang
begitu saya percayai. Saat pembelajaran sedang berlangsung, seperti
biasa, beberapa anak tampak sedang belajar sambil bercanda. Maklum,
rentang usia para siswa rata-rata berkisar 6-7 tahun. Sekilas pandang,
semua siswa tampak normal dan suasana pembelajaran tampak baik-baik
saja.
Namun
tanpa diduga, salah seorang siswi dalam kelompok tersebut, sebut saja
Tara, seketika berang tanpa alasan yang jelas. Dia bangkit dari tempat
duduk, berlarian kemudian memukuli secara acak satu persatu teman
kelasnya. Kabur keluar kelas, melepaskan kerudung yang dipakainya,
meronta-ronta dan mencakar-cakar para guru yang berusaha menenangkan.
Dia terus menerus mempraktikkan adegan mengaum, laksana manusia harimau
bak sinetron yang tengah naik daun kala itu. Sesaat kemudian, dia pun
memanjat dinding dan melompati pagar sekolah untuk melarikan diri.
~Proses pembelajaran abad 21 haruslah berlandaskan kreativitas dan inovasi~ |
Saya
sangat khawatir namun bergeming, ngeri sekaligus bingung. Suasana
belajar yang tampak aman dan menyenangkan pada awalnya, bisa berubah
mengganas seketika. Seluruh sekolah dibuat heboh oleh Tara yang
melarikan diri. Beruntung, persembunyian yang dipilih Tara tak jauh dari
sekolah. Tak lama, ia pun berhasil ditemukan, ditenangkan dan dibawa
kembali oleh pihak sekolah ke dalam ruang kelas.
Belum
selesai dengan kejutan tersebut, beberapa hari kemudian, seorang siswa
lainnya, sebut saja Zaki, menghantam kaca jendela, dengan tangan
telanjang, hingga hancur berkeping-keping. Seketika tangan mungil itu
berubah memerah, berlumuran darah. Panik dan merasa sakit, ia pun
menangis terisak-isak. Saat mengobati Zaki, saya pun melempar tanya akan
penyebab hal ihwal yang ia lakukan sebelumnya. Zaki mengaku kesal
karena beberapa teman mengganggunya saat sedang bermain. Karena sulit
menyampaikan emosinya, dia pun memutuskan untuk melampiaskan
kekesalannya dengan melakukan atraksi memecahkan kaca jendela, layaknya
para hero pada permainan daring di gawai kesayangannya. "Tapi, di game, tangan mereka gak berdarah, Miss." jelas Zaki lugu, seakan menyesali kenyataan yang tak seindah permainan di dunia maya.
Cerita
di atas merupakan gambaran nyata tantangan yang harus dihadapi para
guru dan orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak-anak di abad 21.
Setiap kali bertemu dengan peserta didik baru, saya laksana kembali
belajar dari nol. Pengalaman mendidik yang sudah lebih dari 10 tahun
saya lakoni seakan tidak pernah cukup untuk menjawab segala tantangan
dalam mendidik generasi muda. Walau pun sudah melanglang buana mendidik
anak-anak di berbagai tingkatan sekolah hingga universitas, baru kali
itu saya menemukan tantangan luar biasa yang membuat saya nyaris putus
asa. Mendidik anak-anak berkebutuhan khusus di zaman kekinian tak
semudah yang saya pikirkan.
Difabel Bukan Hanya Disabilitas Fisik
Dewasa
ini, banyak orang tua beranggapan bahwa ketika seorang anak lahir
dengan fisik sempurna maka tak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan.
Orang tua menjadi cenderung mempercayakan pendidikan anak mereka
seutuhnya kepada lembaga pendidikan tertentu. Sehingga, ketika kasus
yang terjadi pada Tara dan Zaki mencuat ke permukaan, pihak keluarga
cenderung mempersalahkan pihak sekolah.
Pihak keluarga dan masyarakat seakan lengah bahwa kondisi
difabel (gangguan/ketidakmampuan) pada seorang anak tidak hanya
mencakup urusan fisik namun juga mental. Hal tersebut termaktub pada
peraturan UU RI No. 4 Tahun 1997 mengenai penyandang cacat. Tak dapat dipungkiri bahwa istilah
buta, tuli, bisu bahkan tunadaksa (cacat tubuh) dan tunaganda (lebih
dari satu kecacatan) menjadi lebih populer dibandingkan istilah
tunalaras (sukar mengendalikan emosi dan sosial) dan tunagrahita (lemah
daya tangkap/berpikir).
~Difabel bukan cela, namun sebuah tabir yang menutupi keistimewaan rahasia~ |
Pelibatan
keluarga dan satuan pendidikan dalam mengatasi disabilitas mental sama
pentingnya dengan perhatian khusus bagi keterbatasan fisik pada anak-anak.
Dibutuhkan komunikasi yang intens, dan kasih sayang dari anggota
keluarga dan juga pihak pendidik dalam proses pembenahan mental pada
anak. Apalagi di zaman teknologi yang penuh distraksi. Ketika sikap
rewel, tantrum dan anti sosial pada anak dialihkan dengan pemberian
gadget tanpa terapi maka kerusakan mental tersebut bisa terpendam tanpa
penanganan dan terbawa hingga kelak dewasa.
Sebagai
seorang pendidik, saya menyarankan kepada para orang tua untuk turut
andil mengobati disabilitas mental anak-anak mereka. Jangan hanya fokus
pada tampilan fisik yang utuh dan sempurna lantas mengabaikan kesehatan
mental generasi muda. Tidak perlu malu untuk mengakui dan mengobati
kekurangan tersebut. Karena tidak ada manusia yang sempurna. Setiap
kekurangan pasti memiliki kelebihan lainnya.
Anak-anak Tidak Mendengarkan, Mereka Meniru
Terdapat
kisah unik terkait pengaruh perilaku orang tua terhadap anak. Suatu
hari seorang murid kelas dua SD di tempat saya mengajar secara tiba-tiba
mendeklarasikan diri untuk tidak mengerjakan salat berjemaah sepanjang
hayatnya lagi. Hal tersebut didasari alasan bahwa saat pergi ke masjid
untuk menunaikan salat Zuhur bersama sang ayah, si anak melihat begitu
banyak orang tua yang tak melakukan salat secara berjemaah, termasuk
sang ayah. Alhasil, saya pun turut berdiskusi panjang lebar dengannya
untuk meluruskan kembali pemahaman keliru tersebut. Namun sayang, sang
anak tetap bersikukuh dengan
bukti yang dilihatnya sendiri. Bahkan membentuk hipotesis terkait
peniadaan salat jemaah di sekolah. Menurutnya, jika orang
dewasa saja melanggar maka anak-anak juga tak perlu melakukan. Sebuah
pemikiran kritis yang membuat saya merasa miris sekaligus ingin
tertawa.
~Perlihatkan, mereka akan penasaran, kemudian mencontoh~ |
Akhirnya,
saya pun memanggil orang tuanya untuk meluruskan perkara yang tampak remeh namun krusial.
Saat sang ayah menemui saya di sekolah, ia pun memaparkan bahwa salat yang
dimaksud sang anak adalah salat sunah sebelum Zuhur. "Benar, salatnya
sendiri-sendiri. Tapi itu salat sunah. Salat Zuhurnya tetap berjemaah,"
papar sang Ayah.
Nah,
kisah di atas merupakan bentuk nyata cerminan bagaimana anak begitu
mudah mencontoh pola lingkungan sekitarnya. Meniru aktivitas baik namun
salah tafsir saja bisa berakibat fatal. Konon lagi jika pola asuh
keluarga hanya bermodal kata tanpa aksi nyata. Pasti nilai-nilai
kebaikannya terabaikan.
Maka
tak heran jika sikap anak-anak kekinian kerap dikeluhkan para
orang tua zaman now. Fenomena semacam ini sungguh lucu dan kerap terjadi.
Bagaimana bisa keluarga yang tak mau dan tak mampu melibatkan diri dalam
mendidik anak di rumah justru menuntut pihak sekolah untuk
memberikan hasil terbaik?
Dalam sebuah artikel majalah daring, explore parents,
Howard Klein, M.D (pakar kesehatan anak di Amerika Serikat) menyebutkan
bahwa kemampuan mimikri (meniru) pada anak dimulai saat lahir. Salah
satunya, anak mulai belajar meniru gerakan wajah. Namun sejak usia satu
tahun ke atas, anak akan meniru secara signifikan berlandaskan niat.
Perlibatan keluarga akan menjadi salah satu landasan kuat bagi anak
untuk membentuk jati dirinya.
~Kesehatan mental anak lebih penting dibandingkan peringkat dan nilai~ |
Pada
dasarnya anak akan kesulitan mencontoh dan menangkap pola pendidikan
acak. Dalam hal mimikri, mereka cenderung intens meniru sikap
orang-orang di sekitarnya, baik yang berasal dari lingkungan sekolah dan
juga rumah. Oleh karena itu, dibutuhkan keselarasan antara pendidikan
dan praktik ilmu yang diterapkan di sekolah maupun di rumah. Sehingga
tidak timbul pola asuh kontradiksi yang dapat berakibat pada gejolak
emosi dan tidak stabilnya mental pada anak.
Oleh
karena itu, bagaikan segi tiga sama sisi, pelibatan keluarga dan
masyarakat dalam membantu satuan pendidikan dalam mendidik anak dirasa
penting. Sehingga pengesahan peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan RI No. 30 tahun 2017 tentang pelibatan keluarga pada penyelenggaraan pendidikan
merupakan sebuah inovasi genius yang mampu membangun sinergitas antara
satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat dalam mendidik anak-anak di
zaman kini yang dipenuhi kemajuan teknologi.
Uang dan Fasilitas Memang Penting, Tapi Kehadiran Keluarga Lebih Penting
Dari keseluruhan peserta didik potensial, yang kerap dilabeli nakal oleh kebanyakan orang, saya menemukan satu pola yang sama pada diri mereka. Rata-rata mereka adalah anak-anak yang kekurangan perhatian, kasih sayang dan kepercayaan dari keluarganya. Di samping kekurangan kebutuhan emosional, tuntutan keluarga yang berlebihan pada anak juga terbukti merusak mental dan menumbuhkan kekhawatiran dan rasa rendah diri.
~Adakalanya bahagia itu sesederhana pelukan dan didengarkan~ |
Barbara Milrod, profesor psikiatri Cornell University,
menjelaskan bahwa emosi yang kuat itu menular-termasuk kecemasan. Rasa
cemas menular dengan mudah di antara kita. Menurutnya, anak-anak sekolah
dasar yang paling rentan menanggung beban kekhawatiran tersebut. Hal
tersebut dikarenakan anak-anak belum memiliki kemampuan untuk
menyelesaikan masalah mereka sendiri. Sehingga kekhawatiran orang lain
(misalkan tuntutan orang tua agar anak juara kelas) tak dapat dipisahkan
dari fantasi kekhawatiran menakutkan yang mereka miliki.
Pada artikel huffingtonpost, Mereta L. Kropp, seorang pendidik sekaligus spesialis perkembangan anak dan keluarga, menambahkan bahwa interaksi
yang baik tidak diukur dari jumlah pertemuan (kuantitas) saja. Namun,
keterikatan emosi antara anak dan orang tua tercipta apabila terdapat
mutu pada interaksi (kualitas) tersebut.
Jika
interaksi dengan selingan tuntutan saja dapat mengganggu stabilitas
emosi seorang anak, bayangkan nasib anak-anak yang kehilangan interaksi
dan perhatian keluarga mereka sama sekali. Pada dasarnya tidak ada anak
yang nakal, hanya saja mereka kurang bimbingan dan perhatian. Sama
seperti kasus Tara sebelumnya, tantrum dan emosi yang seketika
meledak-ledak, setelah saya teliti dan diskusikan bersama pihak sekolah,
merupakan efek samping dari kesibukan kedua orang tuanya. Tara kerap
dititipkan pada nenek dari pihak ibu dan juga nenek pada pihak ayah
secara bergantian. Padahal kedua nenek tersebut memiliki pola asuh
saling bertolak belakang. Di satu pihak, Tara terlalu disayang dan
dimanja dan dipihak lainnya, ia justru diabaikan tanpa perhatian.
Kurangnya waktu untuk berinteraksi dengan kedua orang tua dan lingkungan
keluarga asuh yang berubah-ubah membuatnya bingung sehingga mengalami
disabilitas mental berupa tunalaras.
~Katanya, cinta mencukupkan segalanya~ |
Berbeda
lagi dengan kasus Zaki. Sependek pengamatan saya, dia sangat dimanja
dengan berbagai fasilitas dan jajanan beragam. Bukannya tak boleh
memenuhi kebutuhan sang anak. Namun pada kasus Zaki, semua dana yang
dicurahkan sang bunda hanyalah pengalihan isu untuk menutupi kesibukan
sang ayah yang sulit ditemui. Sang anak mengalami mal-emosi, di mana kebutuhan interaksi diganti dengan materi. Gawai dan permainan daring (game online)
menjadi tempatnya melabuhkan hati. Sehingga, segala sikap dan tindak
tanduk sehari-hari diambil dari nasihat benda mati tersebut.
Sungguh
aneh tapi nyata, di zaman yang serba canggih ini, banyak orang tua yang
menggantikan perannya dalam memenuhi kebutuhan emosi anak dengan uang
dan fasilitas terkini, semacam gadget dan televisi. Mungkin saja, hal
tersebut dapat membungkam kerewelan anak dan mendiamkan sikap lasak
mereka untuk sesaat. Namun hilangnya fungsi keluarga dan membiarkan anak
terseret arus media juga berujung pada penumpulan rasa penasaran dan
berkurangnya keinginan anak untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar.
Pada akhirnya, anak akan tumbuh dengan membawa beragam luka emosi yang
tak kasat mata namun dapat meledak di suatu masa.
Sungguh
nilai kasih sayang, interaksi, komunikasi dan penyisihan waktu luang
yang disediakan keluarga untuk anak-anak tidak dapat tergantikan oleh
apa pun. Ingat, tidak ada pendidikan ulang bagi seorang anak. Waktu
tidak dapat diputar mundur. Hadirlah untuk mereka selagi mereka butuh.
Bukankah lebih baik sedikit lelah dari pada salah dan kalah dalam
mendidik generasi masa depan?
Sungguh orang tua yang saling asah asih asuh terhadap putra-putri mereka merupakan sebaik-baik #sahabatkeluarga .
Referensi
Attachment parenting utamakan kedekatan ibu-anak, sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id tanggal 9 Agustus 2018. Diakses tanggal 13 Agustus 2018.
Drone parenting, pola asuh orang tua milenial, sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id tanggal 8 Agustus 2018. Diakses tanggal 9 Agustus 2018.
L.Kropp, Merete. The best way to raise children, according to research, huffingtonpost.com 1 September 2017. Diakses tanggal 13 Agustus 2018.
Milrod, Barbara. Child anxiety and parenting in the Trump era. theconversation.com 19 Mei 2017.
Diakses tanggal 13 Agustus 2018.
Diakses tanggal 13 Agustus 2018.
Salinan permen no. 30 tahun 2017, sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id tanggal 19 Desember 2016. Diakses tanggal 9 Agustus 2018.
Stiefel, Chana. What your child learns by imitating you. Parents Magazine.
Catatan:Demi
menjaga privasi, seluruh gambar dan nama yang digunakan dalam tulisan
ini hanya ilustrasi dan bukan nama sebenarnya.
Setuju sekali Ayu, terima kasih sudah berbagi pengalaman dan juga strategi brilian. Good luck, ya 😊
BalasHapusSama-sama kak Aini.
HapusSemoga bermanfaat.
ijin share kaka
BalasHapusSilakan.
HapusOh iya, artikel ini juga sudah dicetak dan dipublikasikan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan pada 2018 lalu.