Kompilasi Memori Lasenas 2018 (5 Hari 4 Malam) - Bagian 3
~Hari ke-3 Lasenas 2018~
Hari minggu tanggal 29 April 2018 merupakan hari ketiga agenda Lasenas (Lawatan Sejarah Nasional) 2018. Tidak seperti hari lawatan sebelumnya yang didominasi tempat-tempat bersejarah di kawasan Banda Aceh, kali ini lawatan lebih terfokus di kawasan Aceh Besar. Masih menggunakan iring-iringan bus, dari Asrama Haji seluruh peserta pun bertolak menuju tempat lawatan sejarah yang tertera sesuai agenda di buku panduan.
- Lawatan ke Makam Pahlawan Nasional Keumalahayati
Tempat lawatan awal untuk agenda Lasenas di hari ke tiga adalah makam laksamana Malahayati. Makam ini terletak di daerah Krueng Raya, Aceh Besar. Menurut sebuah penelitian yang diadakan oleh ICAIOS, nama awal Krueng Raya (Sungai Besar) sebenarnya adalah Krong Raya (Lumbung Padi Besar). Konon katanya, daerah tersebut pernah memiliki area persawahan yang menghasilkan padi yang sangat banyak dan terus berbuah. Potong lagi tumbuh lagi, potong lagi tumbuh lagi, tidak perlu di tanam kembali. Salah seorang pemilik lahan tersebut suatu hari merasa lelah karena harus terus menerus memotong padi yang tumbuh tak henti-henti. Mengeluhlah ia kepada padi karena terus tumbuh. Masyarakat percaya bahwa hal itu yang menyebabkan alam murka.Sehingga kini padi menjadi sulit untuk tumbuh di wilayah tersebut. Sejak saat itu, perlahan-lahan, nama Krong Raya berubah menjadi Krueng Raya. Mungkin karena di wilayah tersebut juga terdapat sebuah sungai yang cukup lebar. Terlepas dari benar tidaknya, kisah tersebut mengajarkan kita untuk selalu bersyukur terhadap segala kondisi dan tidak takabbur (merasa pongah atau sombong).
Nah, kembali lagi ke kisah kegiatan lawatan. Sejujurnya, dari semua agenda tempat kunjungan, hanya makam Malahayati yang belum pernah saya kunjungi. Oleh sebab itu, kunjungan di pagi tersebut membuat saya sangat bersemangat.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, bus pun berhenti. Menurut keterangan sang pramuwisata, peserta telah tiba di kawasan makam. Saya dan teman-teman pun beranjak turun. Tak ada apa-apa kecuali hutan dan semak belukar. "Mana makamnya?" tanya saya saat itu. "Itu, di puncak," sahut sang tourguide. Di dalam hati, saya berdecak kagum. Keren sekali posisi makam Laksamana Keumalahayati. Mungkin inilah makam tertinggi yang pernah saya lawati. Kemudian pelan-pelan, para peserta Lasenas menapaki satu demi satu anak tangga yang jumlahnya mencapai seratus sekian-sekian. Saya membayangkan, andai fasilitas tangga ini tidak disediakan maka otomatis kegiatan lawatan ke makam Malahayati akan serasa haiking. Walau agak tinggi, perjalanan tak melelahkan sama sekali. Suasana makam pahlawan nasional Keumalahayati sangat sejuk, harum dan bersih. Pemandangan alamnya, dari puncak di mana makam terletak, indah sekali.
Setelah seluruh peserta Lasenas tiba, kami pun memanjatkan doa bersama untuk pahlawan nasional yang namanya disahkan baru-baru ini, Laksamana Keumalahayati. Selesai berdoa, sejenak kami mendengarkan pemaparan dari ahli sejarah terkait tempat lawatan. Namun sayangnya, karena tidak memakai TOA, penjelasannya hanya terdengar sayup-sayup. Saya pun kehilangan momen penjelasan sang ahli sejarah hari itu. Selepas itu, cindera mata pun diserahkan oleh pihak Lasenas kepada pemapar sebagai bentuk apresiasi dan kenang-kenangan. Namun sayang, entah tak tahu atau terlanjut latah, salah satu perwakilan panitia mengajak para peserta Lasenas untuk bertepuk tangan kemudian. Mungkin Beliau bermaksud agar suasana menjadi meriah. Tapi sepertinya Beliau lupa bahwa suara gemuruh tepuk tangan di makam merupakan hal yang tak etis dilakukan, terutama di Aceh.
- Lawatan ke Benteng Iskandar Muda
Benteng Iskandar Muda terletak di Desa Beurandeh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar. Sesuai namanya, benteng ini dibangun oleh Sultan Iskandar Muda. Tujuannya adalah untuk memperkuat pertahanan di sepanjang pantai Selat Malaka. Ini kali kedua saya mengunjungi benteng. Sebelumnya saya bersama teman-teman komunitas, para siswa Banda Aceh dan BPNB Aceh pernah melawat ke tempat ini. Menariknya, bentuk benteng ini masih utuh dan bagus, walau menurut keterangan warga, tsunami 2004 silam pernah menerpanya. Hal menarik lain dari benteng Iskandar Muda ini dapat dilihat dari parit yang mengelilingi benteng yang sudah ditimbun tanah. Menurut keterangan para pakar sejarah, bentuk pertahanan yang diadopsi benteng ini berupa pertahanan parit layaknya mode pertahanan perang khandaq pada masa nabi Muhammad s.a.w. Ini sungguh menarik.
- Lawatan ke Benteng Indrapatra
Sekitar 8 km dari benteng Iskandar Muda, peserta Lasenas pun tiba di benteng Indrapatra. Benteng ini terletak di desa Ladong. Benteng ini merupakan saksi sejarah masuknya pengaruh Hindu dari India ke Aceh. Benteng ini merupakan satu dari tiga sisi pertanda kerajaan Hindu-Indra Patra, Indra Puri, Indra Purwa-yang lebih dikenal dengan istilah Aceh Lhee Sagoe. Disebutkan bahwa benteng ini didirikan oleh putra Raja Harsya yang berkuasa di India. Dibangun pada tahun 604 Masehi, konstruksi benteng ini masih tampak begitu kokoh. Benteng Indrapatra dibuat dari bongkahan batu gunung yang direkatkan dengan menggunakan campuran yang terbuat dari kapur, kulit kerang, tanah liat dan putih telur.
Saat para peserta Lasenas melawat benteng ini, matahari sedang bertahta di titik terpanasnya. Walau sebagian peserta tetap berjalan-jalan dan melihat-lihat isi benteng, tapi tak sedikit yang memilih merapatkan diri ke dinding benteng demi mencari secuil perlindungan dari bayangan. Terik dan gerah sekali hari itu. Setelah itu, para peserta diberi waktu sesaat untuk beristirahat sembari menyantap makan siang di bawah pepohonan dan rangkang-rangkang tepi pantai di sekitar benteng.
Menikmati angin sepoi-sepoi pantai Indrapatra sambil menyantap makan siang menjadi salah satu cara terbaik untuk melepas penat selama lawatan. Hampir tak ada percakapan yang terjadi di antara peserta. Semuanya seakan sedang asyik sendiri melepas lelah sambil menikmati suasana. Lalu, sekitar 20 menit kemudian, para peserta diminta untuk kembali berkumpul demi mendengarkan pemaparan materi yang tidak tersebutkan di dalam agenda. Jam telah menunjukkan pukul 13.30 WIB. Sejujurnya saya tidak terlalu fokus dengan kegiatan para siswa yang dipimpin oleh Kang Asep dan Kang Cepi saat itu. Sebaliknya saya menghabiskan waktu untuk sejenak bertukar pikiran dengan anggota komunitas Mapesa (Masyarakat Peduli Sejarah Aceh). Walau singkat, banyak ilmu yang berhasil saya raup, terutama dari Bang Ayi. Darinya saya belajar bahwa sungguh hampir semua akar ilmu modern telah dituliskan dalam kitab-kitab ulama Aceh terdahulu. Namun karena dituliskan dalam bahasa Arab dan Arab Jawi, sedikit anak muda kini yang paham dan mau mempelajari.
Jam telah menunjukkan pukul 2 siang. Acara di bawah pohon belum kunjung usai. Karena faktor tempat dan kegiatan, peserta Lasenas yang muslim belum juga menunaikan kewajiban salat. "Kira-kira hari ini kami akan salat di mana dan jam berapa ya?" celetuk hati saya bertanya-tanya.
- Lawatan ke Taman Sari Gunong
Jam
telah menunjukkan pukul 2 siang lewat sekian-sekian. Para anggota Lasenas
segera memasuki bus untuk melanjutkan perjalanan lawatan. Kami sempat
menyarankan kepada panitia untuk berhenti sekejap di masjid terdekat.
Pasalnya, Gunongan letaknya di luar Aceh Besar. Pastinya akan memakan
waktu yang lama, berhubung perjalanan cukup panjang. Panitia bergeming.
Akhirnya seluruh peserta rombongan bertolak menuju Banda Aceh.
Pukul setengah tiga, para peserta diberi waktu selama 20 menit untuk melihat-lihat serta mendengar penjelasan singkat tentang Taman Sari Gunongan. Saya melihat, karena waktu salat yang semakin sempit, sebagian peserta Lasenas akhirnya menumpang salat di rumah penjaga situs budaya ini. Sebenarnya terdapat beberapa masjid besar di sekitar, seperti masjid Raya Baiturrahman dan masjid Kupiah Teuku Umar. Namun jika ditempuh bolak balik berjalan kaki, maka waktu 20 menit tidak akan cukup. Peserta yang memilih untuk salat akhirnya kehilangan momen mendengarkan pemaparan langsung tentang sejarah Gunongan dari ahlinya. Singkatnya waktu dan sempitnya tempat salat membuat sebagian peserta lainnya terpaksa menangguhkan salat hingga tiba di tempat lawatan selanjutnya. Kesulitan untuk salat di Serambi Mekkah merupakan hal yang tabu, namun sayangnya hal itu benar-benar terjadi. Miris memang, tapi apa hendak dikata, semua tergatung pada mereka yang memegang kuasa.
- Lawatan ke Rumoh Cut Nyak Dhien
Pukul 3 kurang beberapa menit. Kami melanjutkan perjalanan menuju Rumoh Aceh yang terletak tidak terlalu jauh dari Gunongan. Sejujurnya, tiap kali melawat Rumoh Cut Nyak Dhien, ada rasa yang menyesakkan dada. Pasalnya kami, orang Aceh, sangat sedikit yang berkesempatan untuk melawat makam Beliau. Karena perjuangannya yang meresahkan Belanda, Cut Nyak Dhien pun diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat hingga meninggal di sana. Pasti amat sedih rasanya menghabiskan hari tua di pengasingan dan meninggal sendirian di kampung orang. Iya, pastinya sedih sekali.
Tiba di Rumoh Cut Nyak Dhien, para peserta berjalan berhamburan mencari toilet terdekat. Tak ada mushala di tempat itu karena masjid letaknya tak jauh. Namun waktu terlalu singkat untuk berjalan menuju masjid. Akhirnya, bermodalkan celah-celah ruang perpustakaan di samping Rumoh Cut Nyak Dhien plus rompi yang dijadikan sebagai sajadah, salatlah para peserta Lasenas yang nyaris melewatkan waktu Zuhur. Saat itu suasana benar-benar terasa kacau. Keluhan demi keluhan mulai terdengar. Beberapa guru pendamping mulai menunjukkan rasa kecewa terhadap manajemen panitia pusat. Bahkan salah seorang guru curhat ke bang Yudi terkait Aceh yang berjulukan Serambi Mekkah namun suasa yang dirasa berbeda, tidak seperti kedengarannya. Mengutip istilah bang Yudi, dalam kondisi seperti ini, orang lain makan nangka, Aceh kena getahnya. Coba deh baca kisahnya di sini, agar paham >> Aceh, Si Buruk Rupa dari Indonesia.<<
Selesai menunaikan salat Zuhur rasa Ashar, sebagian peserta Lasenas kembali bergabung dalam rombongan dan berkumpul di depan Rumoh Cut Nyak Dhien untuk berfoto-foto. Saya bergeming dan memantau keadaan dari jendela ruang perpustakaan saja. Berhubung 15 menit lagi azan Ashar akan berkumandang, maka saya memutuskan untuk menghabiskan waktu membaca buku-buku penelitian tempat-tempat bersejarah di Aceh. Waktu luang saya yang super singkat terasa efektif. Kemudian, azan Ashar pun berkumandang. Panitia menginstruksikan peserta untuk bergegas salat masuk ke dalam bus. Beberapa peserta Lasenas tampak mengabaikan instruksi dan memutuskan untuk salat Ashar terlebih dahulu. Sepertinya tidak lucu jika sebelumnya kami mengerjakan salat Zuhur rasa Ashar, masa harus disambung dengan salat Ashar rasa Magrib juga? A big No-No dong.
- Belanja Oleh-oleh dan Pernak-pernik Khas Aceh
Ternyata, rumoh Aceh adalah tempat terakhir lawatan sejarah untuk hari ketiga agenda Lasenas 2018. Awalnya saya kira ada tempat lawatan lainnya yang harus dikunjungi. Melihat seakan panitia tak memberi jeda dan instruksi waktu kosong untuk sesaat mengerjakan salat Ashar bagi peserta. Oh, mungkin saja jeda waktu salat Ashar dibarengi sambilan berbelanja. Tapi saya tidak yakin di sana ada mushalanya. Kecuali peserta dibawa ke masjid terdekat, misalnya masjid Raya Baiturrahman. Tapi apa pun keputusannya, mudah-mudahan tidak ada peserta muslim yang tertinggal salatnya hanya karena harus mengikuti skedul acara yang amburadul. Semoga ya.
Pelajaran Hidup Hari ke-3 Lasenas 2018
- Baik tidaknya pelaksanaan kegiatan di suatu negara, daerah bahkan acara sangat tergantung pada siapa pemimpinnya.
- Dalam hidup, kita akan dihadapi oleh banyak pilihan, maka pilihlah hal yang disetujui hati nurani.
- Lawatan makam jadi pengingat yang baik. Karena se-apa-apa-pun kita, ujungnya mati juga. Sungguh tak ada yang abadi kecuali sang Pencipta.
- Belajarlah mendengar hal yang tidak diperdengarkan, belajarlah melihat hal yang tak ditampakkan.
- Oleh-oleh terbaik dari sebuah perjalanan bukanlah yang bisa dipegang tapi yang bisa dikenang.
0 Response to "Kompilasi Memori Lasenas 2018 (5 Hari 4 Malam) - Bagian 3"
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya!
Besok-besok mampir lagi ya!
(Komentar Anda akan dikurasi terlebih dahulu oleh admin)