Pengalaman Pertama Naik Kereta Api yang Bikin Ngakak
Hal menarik yang saya rasakan setiap kali menginjakkan kaki ke tempat yang baru adalah keunikan ragam budaya dan perbedaan gaya hidup penduduk setempat. Kedua hal tersebut tidak pernah gagal mendatangkan rasa takjub. Sensasi awal tiap kali saya melangkahkan kaki ke wilayah baru sangatlah beragam. Dari rasa senang, sedih, marah, lucu, haru, bahkan frustasi hingga linglung sendiri. Untuk menghindari rasa bingung yang parah (culture shock) saat berada di wilayah baru, setiap kali merencanakan perjalanan, saya akan mempelajari minimal 3 hal dari daerah tersebut yakni jenis transportasi yang digunakan, makanan yang disajikan dan tempat tinggal yang disediakan.
Seperti pengalaman perjalanan pada Februari 2016 lalu, saya mendapatkan kesempatan berlibur ke Jakarta-Bogor-Bandung (JBB) untuk pertama kali. Yeee... akhirnya bisa lihat monas (#kemaruk). Nah, untuk tiket pesawat sendiri, walau di Aceh, kita tidak harus datang ke Bandara kok. Pemesanan tiket cukup di lakukan melalui situs jual beli online terpercaya. Secara, the world at your fingertips, ya keles kalau ada quota, kalau tidak? (#baiklahabaikan).
Setelah beberapa jam melayang-layang di udara, saya membunuh waktu dalam ruang imaji rupa-rupa awan kasat mata sembari bertanya-tanya apa fungsi setitik lubang di antara dua sekat kaca jendela pesawat terbang (#sumpahgakpenting). Hingga akhirnya, saya pun mendarat di ibu kota. Kesan pertama? "Buset, ini bandara luas banget," (#kemaruk lagi). Dear jari, stop mempermalukan diri (#catatanhatiseoranganakdesa).
Monas, I am in Love. |
Nah, ketika tiba di ibu kota, akhirnya saya bisa merasakan bagaimana suasana macet di Jakarta untuk pertama kali dan saya merasa senang (#kemaruk tak berkesudahan). Maklum, biasanya hanya bisa mengkhayalkan kemacetan melalui media televisi. Namun kesenangan tersebut tidak bertahan lama. Setelah beberapa hari di Jakarta, saya mulai memperlihatkan sisi uring-uringan yang tak tahan akan polusi udara dan kemacetan yang menyesakkan dada. Sang teman seperjalanan yang peka menangkap aura anak desa seperti saya yang mulai mewek merindukan kampung halaman penuh hutan langsung mengajak untuk kabur melanjutkan perjalanan ke Puncak Bogor.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, ajakan tersebut saya terima dengan hati senang dan tanpa pikir panjang. Hingga sampailah saya di titik ke-bloon-an tertinggi. "Tiket pesawat ke Bogor dari Jakarta habis nih, dari tadi saya search kok gak ada ya?" saya mengeluh sembari menatap lekat layar ponsel. Sontak teman-teman semua terdiam dan melepaskan tawa serempak. "Habis? Kita ke Bogor NAIK KERETA API, keles Yu!" Saat itu, rasanya saya ingin ganti nama atau sekalian oplas saja. Malu aku malu, pada semut merah. Ah, sudahlah, cukup kita-kita saja yang tahu.
Ekspresi wajah bloon-ingat-bakat terpendam |
Kemudian sebelum berangkat, kita beli tiket kereta api dulu, terus langsung menuju stasiun. Tiba-tiba, shock culture kembali menyerang saya. Seketika, saya melihat segerombolan orang terburu-buru menaiki tangga menuju tempat pemberhentian kereta api. Sontak saya ikutan lari mengikuti kerumunan. Sekedar informasi, saraf saya mampu merespon secara otomatis jika melihat orang-orang yang tiba-tiba berlarian, apalagi bergerombolan. Mode penyelamatan diri dari gempa dan tsunami masih bersemayam kuat di alam bawah sadar (#SadbutTrue).
Melihat saya yang spontan berlari, teman-teman saya lainnya ternyata dengan sigap ikut mengejar di belakang. Mungkin mereka mengira saya kerasukan. Tanpa bertanya kiri dan kanan, serta merta saya memasuki gerbong kereta api yang pintunya telah terbuka. Coba tebak, akhirnya saya hidup berbahagia di dalam gerbong kereta yang penuh sesak dan berdiri hingga stasiun Bogor dengan tas punggung sebesar lemari.
"Lu kata, kereta VIP, tapi kenapa rasanya ekonomis banget," bisik saya kesal kepada seorang kawan yang berdiri tepat di belakang. "Gerbong depan kosong, lu aja yang bego," tatapnya dengan cahaya ultraviolet yang mampu seketika mengeringkan permukaan kerongkongan. Jleb!
Pantas saja gerbong ini penuh. Bukan hanya saya yang latah mengikuti gerombolan orang tak dikenal tadi, namun ternyata teman-teman saya juga turut serta mengikuti. Dengan rasa yang bercampur aduk, antara senang diikuti dan menyesal mengikuti, akhirnya saya tertawa ngakak sendiri. "Ini teman, entah setia, entah sama bloonnya dengan saya," celetuk hati bertanya-tanya. Walau harus berdiri penuh sesak, saya cukup menikmati perjalanan konyol menaiki kereta api untuk pertama kali. Saya juga cukup terhibur dengan suara mesin pemberitahuan lokasi di dalam kereta api yang sesekali berujar dengan nada genit, semisal saat menyebutkan pemberhentian di stasiun wilayah Cik-kinii (Cikini-red).
Agak gimana gitu ya tapi memang benar jadi pengalaman paling berarti karena kita belum ada transfortasi ini.
BalasHapusHu-uh, iya bang. Secara di Aceh belum ada. Jadi rada gimana gitu.
HapusPengalaman pertama emang ada-ada aja. Hahaha...
Kalo saya pertama kali naik kereta ikut atasan ke Bekasi buat ikutan semacem rapat sekalian kenalan sm top manager. Soalnya wkt itu masih karyawan baru
BalasHapus