Sejarah Konflik Aceh dalam Balutan Damai Ruang Memorial
Ruang Memorial Perdamaian, di sini sejarah konflik Aceh dipanjang sebagai pembelajaran tanpa dendam.
Bukan hal mudah bersetuju menapakkan kaki ke ruang ini untuk pertama kali. Tak ada bagusnya mengenang luka, amarah, dan derita yang terpajang di dalam sebuah "kotak", pikir saya awalnya. Namun akhirnya saya memutuskan untuk datang. Bukan untuk menguak luka lama yang terpendam namun untuk belajar berdamai. Berdamai dengan kebencian, berdamai dengan kecurigaan, berdamai dengan masa lalu yang suram dan berdamai dengan diri agar derita itu tidak terulang lagi di kemudian hari.
"Nyang ka, ka keuh. Nyang goh, bek lee"
***
Kamis, 24 Agustus 2017—tepat 10 hari peringatan perjanjian damai MoU Helsingki yang ke-12 di Aceh—menjadi momentum pertama saya menapakkan langkah ke sebuah ruang berinterior modern namun bercitarasa kenangan silam. Ruang Memorial Perdamaian, aksara itu termaktub jelas di bagian luar pintu masuk ruangan. Sekilas isi ruangan terlihat samar di balik pintu berbahan kaca berbingkai kayu, membuat saya semakin penasaran sebelum melangkah maju.
Pintu terbuka, kedatangan saya disambut hangat potongan-potongan senjata di dalam peti kaca. Sungguh pemandangan yang tak biasa. Di sisi kanan ruang utama, terpapang lebar sebuah backdrop penjelasan liminasi waktu sejarah perjuangan Aceh yang dimulai sejak tahun 1520—kala Aceh berperang melawan Portugis—hingga disahkannya RUUPA pada tahun 2006. Jika tak salah berkalkulasi, lebih dari 1 abad Aceh menorehkan catatan perjuangan dalam baluran konflik dan peperangan. Sungguh, sebuah sejarah panjang demi memperoleh sebuah kedamaian yang dapat kita nikmati saat ini.
Mungkin perlu kita sadari bersama bahwa DAMAI—hidangan mewah yang dapat kita santap kini—terbuat dari bahan dasar berupa nyawa, darah dan air mata para pejuang dan warga sipil terdahulu. Sebagai warga yang baik, sudah sepatutnya kita mensyukuri anugerah perdamaian tersebut dengan melakukan aksi dan kontribusi positif di berbagai lini kehidupan. Bukan justru sibuk menghabiskan masa muda dalam aksi latah teknologi seperti mengungah foto-foto selfie tanpa arti. Yah, mungkin masih banyak muda-mudi masa kini yang belum sadar akan hal itu tapi kamu, ya kamu, berbeda kan?
Mungkin perlu kita sadari bersama bahwa DAMAI—hidangan mewah yang dapat kita santap kini—terbuat dari bahan dasar berupa nyawa, darah dan air mata para pejuang dan warga sipil terdahulu. Sebagai warga yang baik, sudah sepatutnya kita mensyukuri anugerah perdamaian tersebut dengan melakukan aksi dan kontribusi positif di berbagai lini kehidupan. Bukan justru sibuk menghabiskan masa muda dalam aksi latah teknologi seperti mengungah foto-foto selfie tanpa arti. Yah, mungkin masih banyak muda-mudi masa kini yang belum sadar akan hal itu tapi kamu, ya kamu, berbeda kan?
Kembali lagi ke ruang memorial perdamaian, di sisi kiri ruang tersebut terpapang sebuah foto tanpa judul. Foto tanpa bingkai berisikan segerombolan orang—dengan stelan kemeja putih dan jas gelap—yang saling berjabat tangan mengesahkan sebuah kesepakatan. Agaknya orang-orang tersebut bersepakat bukan di tanah Aceh atau wilayah mana pun di Indonesia. Sebab di belakang mereka terpampang jelas sebuah lukisan wanita berkulit pucat berhidung mancung dengan gaun dan model rambut ala-ala Eropa. Jangan tanyakan kepada saya, mengapa harus bersepakat di sana. Sebaiknya engkau ulang kajilah sendiri kesepakatan 15082005 ini, agar terpuaskan penasaranmu dan bijak cara pandanganmu.
Setelah beberapa detik mematung di foto tersebut, kaki saya kembali melangkah menelusuri sisi-sisi ruang dengan penuh rasa penasaran. Suhu ruangan, pencahayaan dan desain interior ruang memorial perdamaian ini dirancang dengan sedemikian rupa sehingga mendatangkan perasaan nyaman dan aman bagi siapa pun yang masuk ke dalamnya. Bahkan sederet foto konflik Aceh masa silam sama sekali tidak menyelut emosi negatif walau lamat-lamat dipandang mata. Seakan ruang tersebut dengan santai membuktikan diri akan kebenaran nama yang disandangnya sebagai ruang memorial perdamaian. Sebuah ruang di mana kenangan damai lebih besar digaungkan dibanding luka dan duka konflik masa silam.
Kemudian, saya melihat juga sebuah ruang minimalis di ujung ruang utama. Dua deret sofa empuk berwarna gading disusun membentuk huruf L dan sebuah almari dengan puluhan deret buku diletakkan sejajar dinding ujung ruangan. Seakan segala elemen dalam ruang mini ini ingin mendeklarasi diri atas kelayakannya sebagai ruang baca. Beberapa blogger yang sudah lebih awal tiba tampak hanyut dalam bacaan mereka masing-masing. Ini pemandangan yang indah, celetuk hati saya diam-diam.
Tak berapa lama, bang Mardian, salah seorang pegawai kesbangpolinmas sekaligus penanggung jawab ruang memorial perdamaian datang menghampiri dan mengajak kami untuk duduk berdiskusi di ruang sebelah. Berbeda dengan ruang sebelumnya, ruang kali ini lebih mirip ruang rapat dengan 15 kursi yang disusun pada meja melingkar. Di sekeliling ruangan dijejerkan foto-foto masa silam yang mencerminkan keadaan konflik Aceh serta masa-masa kala perdamaian dibentuk. Di sudut ruangan ini juga terdapat sebuah TV merk sharp yang menampilkan video-video singkat tentang Aceh di masa konflik dulu.
Sejauh pandang, sependek ingat, sedegup rasa bagi seorang insan yang secara langsung pernah merasakan ngerinya masa konflik walau sesaat dan tak panjang, tampilan ruang memorial perdamaian ini sudah cukup bersahabat. Namun rasanya banyak hal yang kurang gamblang dipaparkan di sini. Semisal sebab musabab mengapa konflik di Aceh bisa terjadi atau mengapa pola damai Aceh tak dapat diadopsi masyarakat Papua Nugini. Hal minim lainnya yang di luar ekspektasi seperti informasi akan sejauh mana perkembangan positif para mantan pasukan GAM yang sudah memotong senjata sebagai tanda damai atau apa kabar para pejuang wanita garis depan masa konflik yang dikenal dengan sebutan inong balee—para janda yang mampu mengokang senjata di tangan kanan dan meninabobokkan anak di tangan kiri—kemana perginya mereka semua? Sungguh aneh rasanya ketika nyawa berani mereka pertaruhkan di masa perang namun tak terdengar kejayaan mereka di masa damai. Rasa penasaran ini sungguh tak mampu mendatangkan rasa damai walau pun telah menginjakkan kaki di ruang memorial perdamaian. Namun sungguh sebuah keberuntungan kala kami diberi kesempatan untuk bertemu Bapak T. Nasruddin selaku Sekretaris Badan, karena melalui dialog ini saya mampu sedikit banyak mendapatkan pencerahan bahwa selama ini kita (masyarakat) hanya mampu melihat permukaan yang "dangkal".
terpapang lebar sebuah backdrop penjelasan liminasi waktu sejarah perjuangan Aceh yang dimulai sejak tahun 1873—kala Aceh berperang melawan Portugis—>>>> setahu saya, di tahun itu yang datang adalah belanda. sedangkan portugis itu sekitar tahun 1600an
BalasHapusHuaaa... thanks bang Yudi. Typo nih tahunnya, udah diperbaiki ya...
Hapus