Rahasia Rohingya yang Tidak Diketahui Dunia
islamhashtag.com |
Baru-baru
ini nama Rohingya kembali mericuhkan perhatian dunia. Bukan karena perjalanan
samudra berbulan-bulan tanpa tujuan seperti dulu namun karena konflik agama yang merengut banyak nyawa. Seketika
sosial media menjadi riuh. Di internet, pengumuman bantuan kembali tersebar,
do'a-do'a kembali dipanjatkan bahkan cacian, hinaan, umpatan serta kemarahan
ikut serta ditumpahkan. Dari
sejawat, pimpinan hingga orang tak dikenal mengupdate rasa gelisah dan murka ke laman sosial media mereka. Orang-orang
di dunia maya seketika berubah menjadi pakar yang mampu mengomentari kondisi
Rohingya dari perspektif diri sendiri tanpa bukti dan fakta terkonfirmasi.
Di tengah
riuhnya berita dunia maya dan aktifnya akun sosial media masyarakat Indonesia
mengenai Rohingya, aku justru bergeming tanpa nyali. Aku juga merasakan
kegelisahan mendalam dan amarah yang ingin kuluapkan akan rasa ketidakadilan
yang hanya bisa kupantau kebenarannya dari balik layar. Namun emosiku terhenti
pada kata logika yang mengumbar tanya tanpa konfirmasi pasti "Ada apa sebenarnya dengan
Rohingya?"
Etnis Muslim Terbesar di Myanmar
Di Myanmar
terdapat beragam etnis muslim, diantaranya muslim malaysia, muslim cina, muslim
myanmar dan lain sebagainya. Adapun populasi muslim Myanmar terbesar adalah
kaum Rohingya. Diawal kemerdekaan, Rohingya termasuk salah satu etnis resmi
yang diakui di Myanmar melalui Konstitusi dan UU Kewarganegaraan. Namun pada
tahun 1980-an, pemerintah Myanmar melakukan pelanggaran berat dengan mencabut paksa
identitas kewarganegaraan Rohingya dan memaksakan identitas sebagai pendatang
kepada etnis tersebut. Perlakuan tidak adil itu terjadi dikarenakan
merajalelanya Burmanisme, di mana
hanya penduduk yang lahir sebagai suku
Burma di negara tersebut yang akan mendapatkan perlakuan khusus, namun tidak
berlaku bagi suku non-Burma lainnya.
Pengalihan Isu Sumber Daya Alam Berkedok Iman
Kaum Rohingya tinggal di
sebuah wilayah bernama Rakhine.Wilayah ini terkenal dengan sumber daya alamnya
yang menakjubkan seperti emas, gas, giok, berlian, batu- bara bahkan Uranium. Bisa
dikatakan saking kayanya negara tersebut,
seandainya seluruh hasil alamnya dijual, maka Myanmar akan mampu membeli
sebuah negara baru.
Yang anehnya, penduduk Rakhine
dalam kasus ini termasuk Rohingya justru tidak mendapatkan hal apapun. Mereka
hidup dalam kemiskinan, ditutupnya akses pendidikan, keterkekangan yang membuat mereka sulit untuk
berpindah tempat bahkan dicabutnya status
kewarganegaraan mereka secara paksa. Sehingga masyarakat Rakhine hidup
menjadi masyarakat terisolir dengan kesehatan dan pendidikan rendah.
Adapun isu kebencian yang
disebarkan oleh rezim militer Myanmar kepada kaum Budha yaitu bahwa kemiskinan
Myanmar disebabkan oleh masyarakat muslim di sana yang bisa dibuktikan dengan
terpuruknya kondisi muslim Rohingya. Ditambah lagi miskonsepsi penyebaran isu
tentang pria muslim yang boleh memperistrikan 4 orang sekaligus dan memasukkan
mereka ke dalam Islam. Jika hal itu
terjadi maka akan banyak masyarakat Burma, yang notabennya merupakan Budha
Myanmar, akanberpindah ke agama Islam. Sehingga mayoritas muslim, yang berimage
negatif ini, akan semakin pesat berkembang di Myanmar. Tentu fitnah tersebut
meresahkan para pemimpin Budha di Myanmar yang termakan hasutan rezim pemerintahannya
yang kejam.
Jadi, jika melihat dari
kaca mata yang jernih, konflik agama antara kaum Budha dan Muslim Rohingya di
Myanmar itu bisa jadi hanyalah pengalihan isu kekayaan alam Rakhine yang ingin
dikelolah secara penuh oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Ketidakadilan bagi Penduduk non-Burma
Kebanyakan
kita tidak paham bahwa Myanmar menganut 2 sistem pemerintahan, sipil dan
militer. Selama ini kita sibuk menekan pemerintahan sipil terkait isu
ketidakadilan yang dirasakan oleh muslim Rohingya. Padahal keputusan di dalam
negeri Myanmar sebagian besar dikendalikan oleh pemerintahan militer. Adapun
ketidakadilan ini bukan hanya terjadi pada kaum Muslim saja bahkan termasuk
kaum Kristen dan Budha. Belandaskan azas
Burmanisasi, selama masyarakat Myanmar bukanlah suku Burma
maka mereka akan tetap menerima ketidakadilan. Adapun penduduk Myanmar yang tergolong ke
dalam suku Burma, mereka haruslah tetap memeluk agama Budha dan agama lainnya
tidak diterima.
Perlu
diketahui, pemerintahan Myanmar sendiri menganut strategi "devide et impera" yang berarti
politik pecah belah dan adu domba. Adapun salah satu strategi Myanmar yang
diimplementasikan untuk golongan muslim Myanmar ada 3 hal yakni; 1). Muslim
tidak boleh masuk ke ranah militer dan polisi, 2). Muslim tidak boleh masuk ke
ranah politik dan parlemen, dan 3). Muslim tidak boleh memiliki pendidikan
tinggi dan masuk ke ranah bisnis.
Dengan
kata lain, warga muslim di Myanmar bukanlah bodoh, lemah dan miskin namun
mereka dijadikan bodoh tanpa akses pendidikan, dijadikan lemah tanpa tameng parlemen
terlebih militer dan dijadikan miskin dengan pelarangan keterlibatan di dunia
pendidikan dan bisnis. Ringkasnya, pemerintah Myanmar sedang berusaha
menghabisi nyawa masyarakat non-burma termasuk kaum Muslim secara
perlahan-lahan tanpa diketahui dunia International dengan metode yang aman dan
terstruktur.
Cara yang
dilakukan oleh rezim pemerintahan Myanmar ini, menurut para ahli, serupa dengan
tindakan NAZI saat membantai Yahudi, namun dengan cara yang lebih cerdik dan
kemasan yang lebih apik. Sehingga pemerintah Myanmar tidak akan dituntut oleh
pihak Internasional dan segala tindak tanduknya dianggap kebijakan dalam negeri
yang tidak bisa dicampuri oleh pihak luar. Toh, tak ada masyarakat yang berani dan mampu
mengkudeta tindakan pemerintahan.
Jadi, sebelum menghabiskan energi menyebarkan
isu kebenciaan antar agama, coba pahami terlebih dahulu situasi politik
pemerintahan di sana. Kita wajib sadar diri akan porsi kebajikan yang mampu
kita distribusi untuk kemaslahatan warga Rohingya, bukan justru memperkeruh
suasana.
Kamuflase Jihat yang Dirancang oleh Pemerintah
Kekhawatiran terbesar saat ini adalah ketika
masyarakat Muslim dunia memanas dengan isu konflik antar agama antar Budha
Myanmar dan Muslim Rohingya. Alih-alih mendamaikan masalah, kemelut ini bisa
berakhir dengan dikirimkannya Muslim dari penjuru dunia untuk melakukan jihat
dalam konteks mengangkat senjata.
Jika ini
terjadi, BINGGO, maka berjayalah
rezim Myanmar yang telah merencanakan hal ini sejak awal. Berjihat dengan mengangkat
senjata justru menguntungkan pihak pemerintahan Myanmar bukan warga Rohingya.
Tindakan jihat tersebut akan dianggap sebagai tindakan kekerasan yang
membuktikan isu kebencian terhadap Islam yang disebarkan oleh pemerintahan
Myanmar selama ini. Bahwa Islam itu anarkis, miskin dan berbahaya. Dengan
datangnya bala bantuan perang dari pihak Muslim, maka dengan gampang pihak
pemerintahan akan mengklaim kepada dunia bahwa ISIS sudah memasuki ranah
otoritas negara mereka. Dengan demikian, akan mudah bagi Myanmar untuk meminta
bala bantuan kepada negara-negara Barat yang berakhir dengan datangnya DANA
perang yang berlimpah untuk pemerintahan. Jadi, siapa yang lebih diuntungkan
dengan adanya gerakan jihat bersenjata? Mari pikirkan dengan bijak.
1. Joanne Lauterjung Kelly
Ketua program People in Need di wilayah Mon,
Karen dan Rakhine. Dia bekerja di Myanmar sejak 2011. Program yang ia ketuai
bertujuan untuk mereduksi kekerasan interkomunal melalui pembangunan jejaring
dan capacity building di Myanmar.
2. Lilianne Fan
Seorang Antropolog Budaya dan Profesional
Kemanusiaan yang telah berkiprah selama 16 tahun menggeluti bidang pengungsi,
IDP, dan komunitas dampak bencana alam. Dia telah bekerja di Aceh, Myanmar,
Haiti dan pengunsi Syiria di Jordan. Dia juga menjabat sebagai Wakil Ketua Asia
Pacific Refigee Rights Networks APRRN. Lilian memiliki peran dalam menasehati
Lembaga-lembaga donor Internasional seperti PBB, Bank Dunia dan Palang Merah.
3. Daniel Awigra
Program Manager ASEAN Human Right
Working Group di Sekretariat ASEAN
4. Kyaw Win
Direktur Eksekutif Burma Human
Right Working Group di London. Kyaw Win sangat aktif memantau kasus-kasus yang
terjadi di wilayah Rakhine.
5. Shadia Marhaban
Satu-satunya deligasi perempuan Aceh
dalam perdamaian Helsingki 2005. Seorang mediator internasional, pembangun
kapasitas dan aktivis dari Aceh, Indonesia.
Mencerahkan, Yu...
BalasHapusThanks kakak sudah berkunjung.
Hapus